Friday, February 16, 2018
AKHLAK DALAM PANDANGAN ISLAM
Seperti
telah diketahui, agama Islam mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya;
hubungan manusia dengan dirinya; serta hubungan manusia dengan sesamanya.
Hubungan manusia dengan Penciptanya tercakup dalam masalah akidah dan
ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya diatur dengan hukum akhlak,
makanan dan minuman, serta pakaian. Selain itu, hubungan manusia dengan
sesamanya, diatur dengan hukum muamalah dan ‘uqubat (sanksi).
Islam telah memecahkan persoalan hidup manusia secara menyeluruh dengan
menitikberatkan perhatiannya kepada umat manusia secara integral, tidak
terbagi-bagi. Dengan demikian, kita melihat Islam menyelesaikan persoalan
manusia dengan metode yang sama, yaitu membangun semua solusi persoalan
tersebut di atas dasar akidah. Yaitu asas rohani tentang kesadaran
manusia akan hubungannya dengan Allah, kemudian dijadikan asas peradaban Islam,
asas Syariat Islam, dan asas negara.
Syariat Islam telah menopang sistem kehidupan dan memerinci
aturannya. Ada peraturan ibadah,muamalah,dan ‘uqubat.
Syariat Islam tidak mengkhususkan akhlak sebagai pembahasan yang berdiri
sendiri, namun Islam telah mengatur hukum-hukum akhlak dengan anggapan bahwa
akhlak adalah bagian dari perintah dan larangan Allah Swt. tanpa melihat lagi
apakah akhlak harus diberi perhatian khusus, melebihi hukum dan ajaran Islam
yang lain. Bahkan, pembahasan akhlak tidak begitu banyak sehingga tidak
dibuat bab tersendiri dalam fiqih. Para fuqaha (ulama fiqih) dan mujtahid
tidak menitikberatkan pembahasan dan penggalian hukum dalam masalah akhlak.
Dalam kitab-kitab fiqih yang meliputi hukum syara’ tidak ditemukan bab
khusus tentang akhlak. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan akhlak
tidak berpengaruh langsung terhadap tegaknya suatu masyarakat. Masyarakat
tegak dengan peraturan-peraturan hidup, serta dipengaruhi oleh perasaan dan
pemikiran yang merupakan kebiasaan umum, hasil dari pemahaman hidup yang dapat
menggerakkan masyarakat. Karena itu, yang menggerakkan masyarakat bukanlah
akhlak, melainkan peraturan-peraturan yang diterapkan di tengah masyarakat,
pemikiran-pemikiran, dan perasaan-perasaan yang ada pada masyarakat.
Akhlak sendiri adalah buah dari pemikiran, perasaan, dan penerapan aturan.
Ketika akhlak tidak mampu menegakkan dan menggerakkan masyarakat,
bolehkah kita mendakwahkan akhlak di tengah-tengah masyarakat?
Tanpa ragu lagi kita mengatakan bahwa berdakwah kepada akhlak adalah
tidak boleh. Hal ini karena akhlak merupakan hasil dari pelaksanaan perintah
dan larangan Allah Swt. yang dapat dibentuk dengan cara mengajak masyarakat
kepada akidah dan melaksanakan Islam secara sempurna. Di samping itu,
mengajak masyarakat pada akhlak semata, dapat memutarbalikkan persepsi Islam
tentang kehidupan dan dapat menjauhkan manusia dari pemahaman yang benar
tentang hakikat masyarakat dan pembentukannya. Bahkan, dapat membuat
manusia salah menduga bahwa keutamaan dan kelebihan individu dapat membangun
umat dan masyarakat, selain mengakibatkan kelalaian dalam melangkah menuju
kemajuan hidup. Dengan
demikian, dakwah seperti ini akan memunculkan anggapan bahwa dakwah Islam itu
hanya pada akhlak semata, kemudian bisa mengaburkan gambaran utuh pemikiran
Islam. Lebih dari itu, dapat menjauhkan masyarakat dari satu-satunya
metode dakwah yang dapat menghasilkan penerapan Islam, yaitu tegaknya Daulah
Islam di muka bumi.
Bukankah akhlak tetap merupakan bagian dari pengaturan interaksi manusia
dengan dirinya, lalu mengapa tidak ada sistem khusus bagi akhlak?
Hal ini dikembalikan pada realitas bahwa Syariat Islam pada saat mengatur
hubungan manusia dengan dirinya melalui hukum syara’ yang berkaitan dengan
sifat akhlak, tidak menjadikannya sebagai aturan tersendiri seperti halnya
aturan ibadah dan muamalah. Akan tetapi, akhlak dijadikan bagian dari
perintah dan larangan Allah, untuk merealisasikan nilai khuluqiyah
(nilai-nilai akhlak). Seorang
Muslim ketika menyambut seruan Allah untuk berlaku jujur, maka dia akan
jujur. Apabila Allah memerintahkannya untuk amanah, dia akan
amanah. Begitu pula apabila Allah melarang curang dan berbuat dengki, dia
akan menjauhinya. Dengan demikian, akhlak dapat dibentuk hanya dengan
satu cara, yaitu memenuhi perintah Allah Swt. untuk merealisasikan akhlak, yaitu
budi pekerti luhur dan amal kebajikan. Sifat-sifat ini muncul karena
hasil perbuatan, seperti sifat ‘iffah (menjaga kesucian diri)
muncul dari pelaksanaan shalat. Sifat-sifat tersebut juga muncul karena
memang wajib diperhatikan saat melakukan berbagai kegiatan interaksi, seperti
jujur yang harus ada saat melakukan jual beli. Meski aktivitas jual beli
tidak otomatis menghasilkan nilai akhlak karena nilai tersebut bukan tujuan
dari transaksi jual beli. Jadi,
sifat ini muncul sebagai hasil dari pelaksanaan amal perbuatan atau sebagai
perkara yang mesti diperhatikan saat melakukan satu perbuatan. Karena
itu, seorang Mukmin dapat memperoleh nilai rohani dari pelaksanaan
shalatnya, dalam contoh lain, dia memperoleh nilai materi dalam transaksi
perdagangannya, serta pada saat yang sama telah memiliki sifat-sifat akhlak
yang terpuji.
Seperti apa sifat akhlak yang baik dan yang buruk dalam pandangan syara’?
Allah Swt. telah memerintahkan jujur, amanah, punya rasa malu, berbuat
baik pada kedua orang tua, silaturahmi, menolong orang dalam kesulitan, dan
sebagainya. Semuanya merupakan sifat akhlak yang baik dan Allah Swt.
menganjurkan kita terikat dengan sifat-sifat ini. Sebaliknya, Allah Swt.
melarang sifat-sifat yang buruk, seperti berdusta, khianat, dengki, durhaka,
melakukan maksiat, dan sebagainya. Bagaimana
menanamkan sifat-sifat baik ini pada jiwa individu dan masyarakat?
Menanamkan sifat-sifat baik pada masyarakat dapat dicapai dengan mewujudkan
perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiran Islam. Setelah hal ini terwujud
di tengah-tengah masyarakat, maka pasti akan terbentuk pula dalam diri
individu-individu. Bagaimana hal itu bisa diwujudkan?
Sebagai langkah awal, harus ada kelompok atau jamaah Islam yang
mengamalkan Islam secara keseluruhan, tidak hanya menganjurkan untuk terikat
pada akhlak semata. Individu-individu yang ada dalam jamaah itu merupakan
satu kesatuan, bukan individu yang terpisah-pisah. Mereka mengemban dakwah
Islam di tengah-tengah masyarakat, mewujudkan pemikiran dan perasaan
Islam. Apabila demikian, seluruh anggota masyarakat akan memiliki akhlak,
setelah mereka berbondong-bondong kembali kepada Islam.
Penjelasan ini menjadikan kita bertanya tentang sifat-sifat yang harus
menjadi unsur utama individu?
Ada empat sifat yang wajib dimiliki serta dicapai oleh individu, yaitu
sifat-sifat yang menyangkut masalah akidah, ibadah, muamalah, dan
akhlak. Empat hal ini tidak boleh dipisahkan pada pribadi seseorang
sehingga harus selalu lengkap dan sempurna. Sekalipun hanya satu dari
unsur itu yang hilang, maka tidak akan tercapai kesempurnaan pribadi
individu. Apabila kita membaca al-Quran pada surat Luqman (31) ayat
13-19 yang dimulai dengan ayat, “Ingatlah ketika Luqman berkata kepada
anaknya, saat memberinya pelajaran, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah itu adalah benar-benar
kezaliman yang besar’ dan diakhiri dengan ayat, “Berbuat sederhanalah
kamu dalam berjalan dan lunakkan suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk
suara adalah suara keledai”. Kita akan mendapati bahwa keempat unsur
itu ada di sana. Demikian pula dalam surat al-Furqan (25) ayat 63, “Hamba-hamba
yang baik dari Robb yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan
di muka bumi dengan rendah hati. Ketika orang-orang jahil menyapa mereka,
mereka ucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan”, hingga ayat
76, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan martabat yang tinggi
(dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan
dan ucapan selamat di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya. Surga itu
sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman”. Kita dapati pula
dalam surat al-Isra (17) saat kita membaca ayat 23, “Rabbmu
telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik kepada ibu dan bapakmu dengan sebaik-baiknya” hingga ayat
37, “Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan
sampai setinggi gunung. Semua itu kejahatan yang amat dibenci di sisi
Rabbmu”. Semua ayat yang ada pada ketiga surat tersebut merupakan
satu kesatuan yang sempurna dalam menonjolkan sifat-sifat yang beraneka ragam,
yang membentuk identitas seorang Muslim dan menjelaskan kepribadian Islam yang
khas sehingga berbeda dengan umat yang lain.
Apa yang menarik perhatian kita saat membaca semua ayat tadi?
Kita perhatikan bahwa sifat-sifat akhlak merupakan perintah dan larangan
Allah Swt. Sebagian isi ayat-ayat tersebut merupakan hukum-hukum yang
berkaitan dengan akidah, sebagian lainnya berkaitan dengan ibadah, muamalah,dan
akhlak. Dapat dilihat pula, bahwa isinya tidak terbatas hanya pada
sifat-sifat akhlak, tapi juga mencakup akidah, ibadah, muamalah, di samping
akhlak. Sifat-sifat inilah yang dapat membentuk kepribadian Islam yang
khas. Membatasi pengambilan hukum hanya pada salah satu dari empat unsur
ini, seperti akhlak misalnya, berarti meniadakan terbentuknya kepribadian yang
sempurna dan kepribadian yang Islami.
Untuk mencapai tujuan akhlak, hendaklah dilandaskan pada fondasi rohani,
yakni akidah Islam, serta sifat-sifat ini harus dilandaskan pada akidah
semata. Oleh karena itu, seorang Muslim tidak akan memiliki sifat jujur
semata-mata karena kejujuran itu sendiri, tetapi karena Allah Swt.
memerintahkan demikian. Meskipun demikian, dia tetap mempertimbangkan terwujudnya
nilai akhlak ketika berbuat jujur. Dengan demikian, akhlak tidak
semata-mata wajib dimiliki karena dibutuhkan oleh manusia, tetapi ia merupakan
perintah Allah.
Kemudian, sifat akhlak ini adakalanya diperoleh melalui ibadah, sebagai
pelaksanaan dari perintah Allah Swt. dalam firman-Nya, “Sesungguhnya shalat
itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al-Ankabut [29]: 45).
Wajib pula diperhatikan perolehan sifat akhlak dalam muamalah, sesuai
dengan sabda Rasul saw., “Agama itu adalah muamalah”. Di samping
itu, akhlak merupakan sekumpulan perintah dan larangan Allah Swt. yang bisa
mengokohkan jiwa seorang Muslim.
Kita melihat sifat-sifat tersebut menyatu satu sama lain, bagaimana kita
memilah-milahnya dari unsur-unsur kepribadian seorang Muslim yang lainnya?
Memang benar, sifat-sifat akhlak menyatu dengan aturan hidup yang lain
yaitu akidah, ibadah, dan muamalah. Namun, akhlak tetap merupakan
sifat-sifat yang berdiri sendiri. Misalnya, seseorang beriman, tetapi dia
berdusta sehingga kita melihat bahwa Rasul telah memerintahkan seorang Mukmin
untuk menghiasi diri dengan sifat jujur. Terkadang pula seseorang itu
melakukan shalat dan melakukan penipuan. Karena
itu, kita melihat Rasulullah memerintahkan Muslim untuk menjauhi perbuatan
penipuan dengan sabdanya, “Bukan termasuk golongan kami orang yang suka
menipu” atau dalam riwayat lain beliau bersabda, “Barang siapa yang
melakukan penipuan tidak termasuk golongan kami”. Kadang seseorang
itu berbuat khianat, karena itu kita melihat Rasulullah sangat menekankan
seorang Muslim untuk memegang amanah ketika bekerja sama dalam
perdagangan. Dengan demikian, sifat-sifat akhlak yang menyatu dengan
aturan hidup lainnya, pada saat bersamaan merupakan sifat yang terpisah dari
setiap aturan. Disatukannya akhlak dengan aturan hidup lainnya, maksudnya
Islam menghendaki adanya jaminan pembentukan pribadi Muslim yang saleh dan
sempurna di atas dasar rohani, yang merupakan pemenuhan terhadap perintah Allah
Swt. atau menjauhi larangan-Nya. Hal itu bukan berdasarkan pada manfaat
atau mudharat yang ada pada sifat-sifat tersebut. Inilah
yang menjadikan seorang Muslim mempunyai sifat akhlak yang baik secara
terus-menerus dan konsisten, selama dia berupaya melaksanakan ajaran Islam dan
selama tidak memperhatikan aspek manfaat. Akhlak tidak ditujukan
semata-mata untuk kemanfaatan. Bahkan, pandangan terhadap manfaat itu
harus dijauhkan. Tujuan akhlak adalah menghasilkan nilai akhlak saja,
bukan nilai materi, nilai kemanusiaan, atau nilai kerohanian. Selain itu,
nilai-nilai ini tidak boleh dicampuradukkan dengan akhlak agar tidak terjadi
kebimbangan dalam memiliki akhlak beserta sifat-sifatnya. Perlu
diperhatikan di sini, nilai materi harus dijauhkan dari akhlak karena akan menghasilkan
pelaksanaan akhlak yang hanya mencari keuntungan. Justru, hal ini akan
sangat membahayakan akhlak.
Ini semua dikaitkan dengan pembentukan akhlak pada individu, kemudian di
mana peran akhlak dalam membentuk masyarakat?
Akhlak adalah salah satu dasar bagi pembentukan kepribadian
individu. Tentu saja secara pasti, akhlak sebagai salah satu dasar
pembentuk masyarakat tidak akan diabaikan begitu saja. Suatu masyarakat
tidak akan baik kecuali ketika akhlaknya baik. Namun, masyarakat tidak
akan menjadi baik hanya dengan akhlak, tetapi dengan dibentuknya
pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan Islami, serta diterapkannya aturan di
tengah-tengah masyarakat itu. Unsur-unsur
pembentukan masyarakat berbeda dengan unsur-unsur pembentukan individu.
Unsur pembentuk masyarakat lebih luas sifatnya, sebagai contoh akidah Islam
harus ada pada masyarakat, demikian pula pada individu. Praktiknya di
masyarakat tidak berhenti pada aturan-aturan indivdu, tetapi lebih luas dari
itu, yaitu mencakup seluruh pemikiran Islam yang terkait dengan akidah,
ibadah,muamalah, dan akhlak. Demikian pula pada masyarakat tersebut harus ada
perasaan-perasaan Islami yang terbentuk dari adanya kecenderungan, keinginan,
serta perasaan yang diatur dengan hukum halal dan haram. Kondisi seperti
ini akan membentuk adat istiadat dan kebiasaan yang Islami pada saat seorang
individu Muslim di dalam masyarakat tersebut akan menyibukkan diri dengan
kegiatan-kegiatan yang berguna bagi masyarakat umum. Di dalam masyarakat
harus ada penerapan aturan Islam yang mengatur interaksi antarindividu ataupun
kelompok. Demikianlah,
unsur pembentukan masyarakat lebih luas dari unsur pembentukan individu,
sekalipun unsur pembentukan individu telah tercakup di dalamnya. Dari sini,
dapat dipastikan bahwa perbaikan, individu harus senantiasa diikuti dengan
perbaikan masyarakat. Hal ini sebagaimana dapat pula dipastikan tidak akan
terjadi perbaikan masyarakat tanpa adanya perbaikan individu. Jadi, sekalipun
di dalam suatu masyarakat banyak orang-orang saleh, selama yang mengatur
interaksi yang terjadi di masyarakat itu bukan perasaan yang diarahkan oleh
pemikiran dan aturan Islam, maka tidak akan terjadi perbaikan individu dan
masyarakat.
Dengan demikian, akhlak bukanlah unsur pembentuk masyarakat, melainkan
termasuk unsur pembentuk individu. Seorang individu tidak akan menjadi
baik karena akhlak semata, tetapi harus ada aturan lain, yaitu akidah,
ibadah, dan muamalah, ketika individu tersebut terikat dengan
semua aturan itu. Ini berarti, seseorang tidak diakui sebagai Muslim
apabila mempunyai akhlak yang baik, tetapi tidak meyakini akidah Islam.
Begitu pula sama halnya apabila individu itu berakhlak baik, tetapi melalaikan
ibadah atau bermuamalah yang tidak sesuai dengan hukum-hukum syara’.
Walhasil, supaya perbaikan individu berjalan sempurna, diperlukan adanya
hukum-hukum akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak yang berhubungan secara
sinergis. Apabila salah satu darinya tidak ada, perbaikan individu yang
sempurna tidak akan tercapai. Hal ini menegaskan bahwa tidak
diperbolehkan melakukan dakwah yang diarahkan pada akhlak semata dalam rangka
perbaikan individu, sedangkan sifat yang lainnya diabaikan. Bahkan, tidak
diperbolehkan memfokuskan sesuatu sebelum perkara akidah selesai. Hal ini
sebagaimana harus juga diperhatikan hendaknya akhlak didasarkan pada akidah
Islam agar seorang Mukmin memiliki sifat-sifat yang didasarkan pada perintah
dan larangan Allah Swt. Diskusi Tanya:
Apakah hubungan antara manusia dengan penciptanya hanya diatur dalam hukum
akidah dan ibadah? Jawab:
Benar, perintah dan larangan Allah Swt. sangat banyak, tetapi yang
mengatur hubungan langsung antara Pencipta dengan makhluk hanya diatur dalam
hukum akidah dan ibadah. Adapun muamalahdan ‘uqubat mengatur
hubungan manusia dengan sesamanya, serta hukum akhlak mengatur hubungan manusia
dengan dirinya sendiri. Tanya
: Bagaimana Islam menyelesaikan persoalan manusia secara integral dan tidak
terpisah-pisah? Jawab:
Hal ini terjadi manakala akidah Islam, yaitu keyakinan bahwa Allah Swt. adalah
Pencipta manusia dan mengatur seluruh aspek kehidupan dengan perintah dan
larangan-Nya menjadi satu-satunya asas dalam menyelesaikan persoalan manusia. Tanya:
Apakah dalam kitab-kitab fiqih seluruh mazhab terdapat bab dan pasal yang
menerangkan hubungan manusia dengan tiga pihak, yaitu hubungannya dengan
Pencipta,dengan sesamanya, dan dengan dirinya sendiri? Jawab:
Benar. Di dalam kitab-kitab tersebut pembahasan ini banyak diuraikan.
Namun, penjelasannya mencakup hubungan manusia dengan Pencipta dan hubungan
dengan sesamanya. Tidak ada bab dan pasal khusus yang menjelaskan akhlak
karena akhlak merupakan bagian yang tercakup dalam perintah dan larangan
Allah.Tanya: Mengapa tidak ada pembahasan khusus tentang akhlak di dalam fiqih
Islam? Jawab:
Fiqih (hukum) Islam meliputi aturan interaksi yang terjadi di masyarakat.
Adapun akhlak ditujukan untuk individu dan tidak mempengaruhi pembentukan
masyarakat. Keberadaan akhlak sangat diperlukan dalam membentuk
kepribadian individu sebagai bagian dari masyarakat. Tanya:
Apakah ada kaitannya ‘urf (kebiasaan) umum di masyarakat dengan akhlak? Jawab:
Ada. ‘Urf masyarakat terbentuk dari pemikiran dan pemahaman yang
digunakan dalam mengatur kehidupan. Sementara itu, akhlak sebagai sifat
dari seorang Muslim adalah hasil dari pemikiran dan pemahaman sesuatu dalam
kehidupan yang ada pada diri seorang Muslim. Jadi, antara ‘urf
dengan akhlak ada keterkaitan. Sebagai contoh, apabila dikatakan sifat
jujur sudah menjadi ‘urf dalam masyarakat Muslim, itu artinya masyarakat
tersebut telah diliputi suasana yang kuat dalam menjalankan perintah dan
larangan Allah. Misalnya pula, kebohongan telah menyebar di masyarakat
sehingga menjadi kebiasaan umum, ini merupakan hasil dari tidak adanya
keterikatan terhadap perintah dan larangan Allah di dalam masyarakat tersebut. Tanya
: Apa maksud dari dakwah menyeru pada akhlak? Jawab:
Maksudnya, individu beserta masyarakat diseru untuk terikat dengan akhlak
dengan dugaan bahwa akhlak merupakan unsur pembentuk individu dan juga
masyarakat. Padahal, tidak mungkin dalam kondisi apa pun, menjadikan
akhlak satu-satunya unsur pembentuk masyarakat. Tanya
: Jika demikian, apa maksud dari syair, “Sesungguhnya eksistensi umat mana
pun ditentukan oleh akhlaknya, apabila akhlak telah hilang, maka hilang pula
umat”? Jawab:
Syair tersebut merupakan ungkapan rasa sedih ketika melihat kondisi kaum Muslim
yang meninggalkan syariat. Diduga syair tersebut dipengaruhi oleh
tuduhan-tuduhan asing terhadap Islam bahwasanya umat terbentuk karena
akhlak. Lalu, jika kaum Muslim menghendaki eksistensi mereka, sudah
seharusnya mereka mengikatkan diri dengan akhlak terpuji dan menjauhi akhlak
yang buruk. Tanya:
Namun, syair ini berbicara tentang umat, bukan tentang masyarakat.
Apa perbedaan umat dengan masyarakat? Jawab:
Antara umat dan masyarakat terdapat perbedaan yang besar. Umat adalah
kumpulan individu yang menganut suatu akidah beserta aturannya tanpa melihat
lagi penerapannya di dalam kehidupan. Hal ini sebagaimana umat Islam yang
memeluk Islam, tapi tidak menerapkan aturan yang terpancar dari akidah Islam
dalam kehidupannya. Adapun masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup
berdasarkan aturan akidah yang dianutnya dan seluruh aspek kehidupannya ditata
sesuai dengan aturan tersebut. Akhlak tidak dapat membentuk umat dan
masyarakat, akhlak tetap merupakan unsur pembentuk individu. Tanya:
Untuk memperbaiki individu di masyarakat, apakah cukup dengan akhlak saja,
ataukah harus ada unsur-unsur lain? Jawab:
Akhlak saja tidak cukup untuk memperbaiki pribadi seseorang karena akhlak salah
satu bagian dari kepribadian. Untuk itu, seorang individu harus diberikan
pemikiran akidah, ibadah, dan muamalah--di samping akhlak--yang diperlukan
dalam hidupnya bersama yang lain. Tanya:
Mengapa akhlak bukan termasuk unsur pembentuk masyarakat? Padahal,
individu-individu di dalam masyarakat diminta untuk menghiasi perilakunya
dengan sifat-sifat terpuji ketika berinteraksi satu sama lain? Jawab:
Seorang individu ketika berbuat jujur dalam bermuamalah, sesungguhnya dia telah
berhias dengan sifat baik yang telah Allah perintahkan. Sifat jujur ini
menyatu dengan aktivitas perdagangan yang ia lakukan dalam mencari manfaat dan
keuntungan materi, serta ketika mencari rizki dalam kehidupannya.
Sifat jujur di sini bukan bagian dari aktivitas perdagangan karena jujur tidak
ada kaitannya dengan perolehan manfaat materi yang menjadi tujuan aktivitas
bisnis. Adapun hubungan sifat jujur dalam muamalah ini adalah bahwa Allah Swt.
telah memerintahkan individu tersebut untuk bermuamalah secara benar dan jangan
melakukan kecurangan. Demikian pula dalam aktivitas ibadah, ketika
seseorang melakukan shalat dia akan melakukan dengan ikhlas hanya untuk Allah,
bukan untuk yang lain. Lalu, dia tidak akan berbuat nifak (menjadi
munafik). Dalam kondisi itulah akhlak yang baik menyatu dalam setiap
aktivitas kehidupan. Jadi, ketika akhlak dilakukan dengan anggapan bahwa akhlak
adalah perintah Allah, maka seseorang akan meraih nilai akhlak. Dengan
demikian, akhlak--yang merupakan perintah dan larangan Allah--akan menyebar
dalam bentuk pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan aturan, bukan sebagai
bagian tersendiri yang terpisah, serta bukan suatu pengistimewaan. Tanya
: Selama akhlak memiliki posisi dalam kehidupan individu ataupun masyarakat,
lalu bagaimana dengan propaganda atau slogan yang menyerukan perbaikan (akhlak)
umat dan masyarakat? Jawab:
Ketika masyarakat dunia Islam berinteraksi dengan masyarakat dunia lainnya,
efek sampingnya mulai terasa pada pemikiran-pemikiran Islam akibat adanya
propaganda Barat tentang Islam dan kaum Muslim. Seperti yang telah diketahui,
gerakan-gerakan yang muncul sepanjang masa pemerintahan Islam sebelum khilafah
runtuh, memfokuskan dakwah kepada masyarakat, serta tidak terlihat menyeru
kepada perbaikan akhlak, kecuali setelah hancurnya tatanan kehidupan masyarakat
disebabkan runtuhnya kekhilafahan. Saat itu, dakwah mulai difokuskan pada
perbaikan individu. Dakwah seperti ini merupakan tindakan pembelaan terhadap
Islam dan pemeluknya. Dakwah
seperti ini memiliki cara pandang yang sama dalam memandang individu dan
masyarakat sebagaimana cara pandang Barat Kapitalis Demokratis, yang memandang
kehidupan sarat dengan kebebasan individu. Berbeda dengan pandangan Islam
tentang masyarakat, Kapitalisme memandang masyarakat sebagai kumpulan individu.
Adapun Sosialisme memandang tidak ada kebebasan bagi individu, pilihan individu
dalam Sosialisme hanyalah menjadi gigi atau jari-jari dalam roda. Perang
pemikiran yang disusupkan ke negeri-negeri Islam melalui cara berpikir kaum
Muslim, telah menjadikan mereka terbelenggu dengan pemikiran individualis
demokratis.Akhirnya, mereka tidak memperhatikan dakwah pada Islam, yang mereka
pikirkan adalah dakwah Individualistis. Karena akhlak merupakan salah
satu unsur pembentuk individu dan tampak pada saat individu tersebut melakukan
ibadah dan muamalah, maka propaganda dakwah mereka tujukan pada akhlak.
Demikianlah Barat dengan kebencian dan kelicikannya menjauhkan para aktivis
dakwah Islam--yang jumlahnya banyak dan tinggi semangatnya, meskipun mereka
berniat baik--dari hakikat dakwah Islam. Saat ini, Barat telah berhasil
melakukannya. Padahal, semestinya dakwah dilakukan seperti yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah saw., yaitu dakwah pada akidah Islam yang menjadi
asas dalam pengaturan peradaban Islam. Adapun akhlak wajib dipisahkan, yaitu hanya
sebagai unsur pembentuk individu, kemudian yang dijadikan sebagai unsur
pembentuk masyarakat, yaitu dalam bentuk pemikiran, perasaan, dan penerapan
aturan Islam. Dengan demikian, yang menjadi asas pembentukan masyarakat Islam
dan pengaturan interaksinya adalah akidah Islam dan bukan dengan akhlak Islam.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment