BAB I
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Masuknya Islam di
Thailand
Thailand
biasa disebut juga Muangthai, atau Muangthai Risabdah, atau Siam, atau negeri
gajah putih, terletak di sebelah utara Malaysia, dan sering dilukiskan
sebagai bunga yang mekar diatas sebuah tangkai. Thailand merupakan
satu-satunya negeri di Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah oleh kekuasaan
barat atau Negara lain, karenaduahalyaitukarena Thailand memilikisistemsuksesi
yang mantappadaabad ke-19 dan yang kedua Thailand
mampumengeksploistasipersaingandanketeganganantaraindocinaPerancisdankerajaanInggris.
Di Thailand, negeri yang mayoritasnya beragama Budha, terdapat lebih dari 10%
penduduk muslim dari seluruh populasi penduduk Thailand yang berjumlah kurang
lebih 67 juta orang.
Diperkirakan
para penyebar Agama Islam yang paling banyak datang ke Nusantara diperkirakan
sekitar tahun 1400M atau secara berturut datang setelah itu hingga abad ke-15
dan ke-16. Dan diduga bahwa penyebar-penyebar tersebut adalah keturunan bani
Abbasyiah.
Adapun
pendapat lain mengatakan bahwa Islam diperkirakan datang ke negara Thailand
sekitar pada abad ke-10 atau 11 melalui jalur perdagangan. Yang mana penyebaran
Islam ini dilakukan oleh para guru sufi dan pedagang yang berasal dari wilayah
Arab dan pesisir India. Pendapat lain ada yang mengatakan Islam masum ke
Thailand melalui Kerajaan Samudra Pasai di Aceh.
Salah
satu bukti yang menguatkan pendapat ini adalah ditemukannya sebuah batu nisan
yang bertuliskan Arab di dekat Kampung Teluk Cik Munah, Pekan Pahang yang
bertepatan pada tahun 1028 M.
Dahulu,
ketika Kerajaan Samudera Pasai ditaklukkan oleh kerajaan Siam (Thailand),
banyak orang-orang Islam yang ditawan, yang mana ketika itu Raja Zainal Abidin
lah salah satu tawanan kerajaan Siam yang kemudian di bawa ke Thailand. Para
tawanan itu akan dibebaskan apabila telah membayar uang tebusan. Kemudian para
tawanan yang telah bebas itu ada yang kembali ke Indonesia dan ada pula yang
menetap di Thailand dan menyebarkan agama Islam di wilayah Thailand Selatan
yangberbatasan langsung dengan Malaysia.
Pada
tahap pertama Islam diwarnai dakwahnya dengan Tasawuf dan Mistik setidaknya
sampai pada abad ke-17. Hal ini karena dirasa paling cocok dengan latar
belakang masyarakat setempat yang dipengaruhi oleh asketisme Hindu-Budha dan
sinkretisme kepercayaan local dan tarekat cenderung lebih toleran dengan
tradisi semacam itu. Sehingga ditemukan bahwa terdapat nama-nama ulama sufi
terkenal sebagai penyebar Islam, diantaranya adalah Syiekh Syafiuddin Ahmad Ad
Dajjani Al-Qusyasyi, beliau adalah seorang keturunan Abbas bin Abdul Muthalib
(paman Nabi Muhammad s.a.w). diceritakan juga bahwa ada dua orang yang
sezaman/bersahabat karib yang sama-sama menjalankan aktivitas dakwah Syeikh
Syafiuddin di Pattani. banyak yang menduga bahwa baliaulah yang pertama
mengislamkan Pattani, barangkali anggapan ini adalah satu kekeliruan karena
Pattani memeluk Islam jauh lebih awal dari kedatangan beliau ke Pattani, bahkan
Pattani dianggap tampat yang telah lama menerima Islam tak ubahnya seperti di
Aceh juga.
Menurut
Haji Abdullah Halim Bashah, penulis asal Malaysia, kawasan Pattani—dulu juga
dikenal sebagai Langkasuka—yang pertama menerima kedatangan Islam adalah
Patthalung, dekat Ligor. Setelah berkembang kurang lebih 300 tahun, kemudian
muncul kerajaan Islam di Pattani dengan rajanya yang pertama Sultan Sulaiman
Syah. Raja yang juga berkerabat dengan kerajaan di Kelantan Selatan ini berkuasa
dari 1357 sampai 1398.
Muslim
di Thailand sekitar 15 persen, dibandingkan penganut Budha, sekitar 80 persen.
Mayoritas Muslim tinggal di Selatan Thailand, sekitar 1,5 juta jiwa, atau 80
persen dari total penduduk, khususnya di Patani, Yala dan Narathiwat, tiga
provinsi yang sangat mewarnai dinamika di Thailand Selatan. Tradisi Muslim di
wilayah ini mengakar sejak kerajaan Sri Vijaya yang menguasai wilayah Asia
Tenggara, termasuk Thailand Selatan. Menurut Kantor Statistik Nasional Thailand
pada tahun 2007, negara ini memiliki 3.494 masjid, dengan jumlah terbesar (636)
di provinsi Pattani .Menurut Departemen Agama (RAD), 99% dari masjid yang
berhubungan dengan Sunni cabang Islam dengan 1% sisanya Syiah
Thailand
Selatan terdiri dari lima provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan
Songkhla, dengan total penduduk 6.326.732 (Kantor Statistik Nasional, Thailand,
2002). Mayoritas penduduk Muslim terdapat di empat provinsi: Pattani, Yala,
Narathiwat dan Satun, yaitu sekitar 71% diperkotaan, dan 86 % di pedesaan
(YCCI, 2006: 34), sedangkan di Songkhla, Muslim sekitar 19 %, minoritas, dan
76.6 % Buddha. Sementara mayoritas penduduk yang berbahasa Melayu, ratarata 70
persen berada di tiga provinsi: Pattani, Yala dan Narathiwat, sementara
penduduk berbahasa China, ada di tiga provinsi: Narathiwat, 0.3 %, Pattani, 1.0
%, dan Yala, 3.0 % (Sensus Penduduk, Thailand, 2000)
2.2 Perkembangan Islam di Thailand
Dilihat
dari sejarah, berkembangnya islam di thailand sudah sejak abad ke-12M yang
berakhir dari kesultanan Pattani. Masyarakat melayu muslim Pattani hingga
sekarang tinggal di Thailand bagian selatan, yaitu Pattani, Yalla, Narathiwat,
dan Satun. Sebagian muslim lain juga mendiami Provinsi Songkla.Seluruh provinsi
yang mayoritas muslim ini dulunya adalah termasuk wilayah kesultanan Pattani
pada abad ke-17 dan 18. Kesultanan Pattani ini banyak melahirkan ulama besar,
salah satunya adalah Daud bin Abdullah al Fattani (1874M). Namun akhirnya
Pattani Raya dipaksa Mengintegrasi diri dengan pemerintah thai pada masa Raja
Chulalongkorn (Rama v) tahun 1902.
Proses
masuknya Islam di Thailand dimulai sejak kerajaan Siam mengakuisi kerajaan
Pattani Raya (atau lebih dikenal oleh penduduk muslim Thai sebagai Pattani
Darussalam). Pattani berasal dari kata Al Fattani yang berarti kebijaksanaan
atau cerdik karena di tempat itulah banyak lahir ulama dan cendekiawan muslim
terkenal. Berbagai golongan masyarakat dari tanah Jawa banyak pula yang menjadi
pengajar Al Qur’an dan kitab-kitab Islam berbahasa Arab Jawi. Beberapa kitab
Arab Jawi sampai saat ini masih diajarkan di beberapa sekolah muslim dan
pesantren di Thailand Selatan.
Perkembangan
Islam di Thailand semakin pesat saat beberapa pekerja muslim dari Malaysia dan
Indonesia masuk ke Thailand pada akhir abad ke-19. Saat itu mereka membantu
kerajaan Thailand membangun beberapa kanal dan system perairan di Krung Theyp
Mahanakhon (sekarang dikenal sebagai Propinsi Bangkok).
Beberapa
keluarga muslim bahkan mampu menggalang dana dan mendirikan masjid sebagai
saran ibadah, sebuah masjid yang didirikan pada tahun 1949 oleh warga Indonesia
dan komunitas muslim asli Thailand. Tanah wakaf masjid ini adalah milik
Almarhum Hjai Saleh, seorang warga Indonesia yang bekerja di Bangkok.
Masjid
Jawa adalah masjid lain yang juga didirikan oleh komunitas warga muslim
Indonesia di Thailand. Sesuai dengan namanya, pendiri masjid ini adalah warga
Indonesia suku Jawa yang bekerja di Thailand. Namun demikian, anak cucu para
pendiri masjid ini berbicara dalam bahasa Thai dan Inggris saat menceritakan
asal muasal berdirinya Masjid Jawa ini. Masjid Indonesia dan Masjid Jawa
hanyalah sebagian dari lima puluhan masjid lain yang tersebar di seluruh
penjuru Bangkok.
Daerah
Pattani mempunyai pertalian erat dengan kerajaan Islam Aceh. Pertalian yang
dimaksud dapat dilihat dalam dua sudut; Pertama, dari sudut hubungan sejarah
Islam dengan Samudera Pasai (sebelum menjadi Aceh). Kedua, dari sudut pengaruh
pemikiran Islam dari para ulama Aceh denga Pattani di masa selanjutnya.
Pengaruh pemikiran yang dimaksud mencakup fiqih, kalam, maupun tasawuf.
Khusus
dalam masalah pemikiran tasawuf, secara tradisi dalam pandangan orang-orang
Islam di Pattani, selalu menganggap sumber kerohanian berasal dari Samudera
Pasai. Salah seorang ulama Islam dari Pasai yang sangat berperan dalam
menyebarkan Islam di Pattani adalah Syeikh Sa’id Barsisa.[6] Syeikh dari Pasai
ini sering menyebut wilayah ini dengan sebutan “Patani Darussalam” (Pattani
Negeri Damai). Sebagian lain menyebut Pattani dengan “Darul Ma’arif” (Negeri
Pengetahuan).
Peran
Syeikh Sa’id tidak dapat dipungkiri sangat besar dalam melahirkan ulama-ulama ternama
di Pattani. Wan Ahmad, misalnya. Ia seorang ulama besar yang banyak tinggal di
Mekah, dan hampir semua pelajar muslim Nusantara belajar padanya. Selain ahli
dalam bidang tata bahasa Arab dan Fiqh, beliau juga ahli tasawuf. Diantara
karya-karya Wan Ahmad adalah beberapa hasil kerja beliau dalam bidang tata
bahasa yang diterbitkan oleh sebuah percetakan di Kairo, termasuk didalamnya
beberapa syair. Dan karya beliau yang lain adalah Bahja al Mubtadin wa farha al
mujtadin (1892) dan Fatawa al-pattaniyya. Selain Wan Ahmad, ulama besar yang
lainnya adalah Syekih Daud bin Abdullah bin Idris al-Fattani. Ia menonjol dalam
bidang fiqh, tetapi cukup menyukai tasawwuf. Karyanya tidak kurang dari 57
buah, dengan berbagai bahasan Studi.
Masyarakat
muslim Thailand pada umumnya mengamalkan ajaran Islam secara independen,
termasuk soal hukum Islam yang berkenaan dengan masalah keluarga, sejauh tidak
berkaitan dengan undang-undang negara. Namun demikian, terdapat beberapa badan
yang secara langsung menangani syariat Islam, seperti menyangkut undang-undang
keluarga dan waris. Lembaga ini dikenal sebagai Majelis Agama Bahagian Wilayah.
Pembentukan lembaga ini sepenuhnya mendapat dukungan dari pemerintah Thailand
lewat keputusan Kerajaan (Royal Decree) yang berkenaan dengan perlindungan
terhadap agama Islam pada 1945.
Sejak
1946, pemerintah Thailand juga memberikan hak khusus untuk melaksanakan
undang-undang keluarga dan hukum waris sesuai dengan ajaran agama Islam di
empat Wilayah yang berpenduduk mayoritas muslim, yakni Pattani, Narathiwat,
Yala, dan Satul. Untuk itu, pemerintah membentuk sebuah lembaga yang disebut
Mahkamah Wilayah. Di setiap kantor di keempat wilayah ini terdapat seorang kadi
Islam, yang juga disebut Datuk Yuthitham.
2.3 Lembaga-Lembaga Islam di
Thailand
Thailand
merupakan Negara yang penduduknya minoritas muslim karena mayoritas penduduk
disana beragama budha. Meskipun penduduk muslimnya minoritas tetapi di Thailand
memiliki lembaga atau kelompok yang kuat dan aktif. Empat kelompok gerakan
Islam yang kuat dan aktif : pertama, golongan tradisional yang sangat
berpengaruh di selatan. Kedua, golongan ortodoks yang menerbitkan majalah
Rabbitah. Ketiga, golongan modernis yang menerbitkan jurnal al jihad. Keempat,
golongan Chularajamontri 66 yang disponsori oleh pemerintah. Terdapat beberapa
kelompok gerakan.
1. Kelompok
tertua adalah Barisan Nasional Pembebas Patani (BNPP) yang didirikan oleh
seorang aristrokat Melayu. Barisan ini adalah kelompok Islam konservatif dan
dipercaya punya hubungan yang dekat dengan Partai Islam se Malaysia (PAS) yang
berkuasa di Negara tetangga Kelantan.
2. Barisan
Revolusi Nasional (BRN) yang didirikan oleh seorang guru agama, punya suatu
sikap yang didasarkan pada ajaran kiri. Karena diduga beraliansi dengan Partai
Komunis Malaysia (CPM), BRN Nampak kurang menerima dukungan dari rakyaat.
Kelompok sabilillah ( jalan Allah) adalah kelompok berbasis kota yang muncul
selama demonstrasi besar yang dilakukan Patani di akhir tahun 1975 dan awal
1976.
3. Kelompok
yang paling sedikit dikenal adalah Desember Hitam 1902 yang identitasnya
diambil dari peristiwa sejarah penyatuan Patani Raya kedalam kerajaaan Thai.
Kelompok yang paling terkenal adalah Patani United Liberation Organization
(PULO) didirikan seorang aristocrat dan memiliki tujuan menyatukan semua
faksi-faksi politik yang aktif melawan imperialisme Thai nampak ditujukan pada
semua masyarakat melayu.
2.4 Pendidikan di Thailand
Pendidikan
yang digalakkan oleh pemerintah Kerajaan Thailand tergolong bersifat deskriminatif
terhadap Islam. Pada tahun 1923 M, beberapa Madrasah Islam yang dianggap
ekstrim ditutup, dalam sekolah-sekolah Islam harus diajarkan pendidikan
kebangsaan dan pendidikan etika bangsa yang diambil dari inti sari ajaran
Budha.
Pada
saat-saat tertentu anak-anak sekolah pun harus menyanyikan lagu-lagu
bernafaskan Budha dan kepada guru harus menyembah dengan sembah Budha.
Kementrian pendidikan memutar balik sejarah, dikatakannya bahwa orang Islam
itulah yang jahat ingin menentang pemerintahan shah di Siam dan menjatuhkan
raja. Dampak yang menonjol dari perkembangan yang berorientasi ke dalam hal
ini. Misalnya, pada tahun 1966, sekitar 60% anak-anak di Pattani tidak dapat
berbicara bahasa nasional. Hal itu berkaitan dengan banyaknya orang tua Muslim
yang lebih senang mengirimkan anak-anaknya ke sekolah agama.
Strategi
yang perlu dibangun masyarakat muslim di Thailand Selatan pada saat ini adalah
memajukan pendidikan, mendukung pembangunan nasional, dan menjaga stabilitas
local. Namun, sampai saat inipun masyarakat muslim Pattani Thailand menghadapi
diskriminasi komplek dan teror yang berlarut-larut. Sehingga kehidupan sosial
maupun politik menjadi sangat terbatas. Akhirnya pemerintah Thailand juga belum
mampu memberi pendidikan merata terhadap kaum muslim. Tekanan berbasis keamanan
selalu mengancam mereka. Kesenjangan ini menurunkan nasionalisme mesyarakat di
luar mayoritas Thai-Budha.
2.5 Kondisi Pemerintahaan di
Thailand
Pada
perkembangan Muslim Pattani antara 2004 hingga Mei 2007. Periode ini sangat urgen
tidak hanya karena banyaknya korban dalam kurun waktu ini, setidaknya 2000
korban meninggal. Sehingga di penghujung tahun 2008, Thailand ingin memiliki
Perdana Menteri baru yang diharapkan dapat membawa angin perubahan. Dengan
rezim barunya harus berjuang keras mencari alternative dalam menangani masalah
konflik Thailand Selatan.Rupanya perdamaian Aceh (Gerakan Aceh Merdeka) menjadi
model upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Thailand Selatan. Identitas lokal di
Thailand Selatan lebih dekat dengan Kelantan dan Kedah, Malaysia. Masyarakat
secara tradisional lebih memilih menggunakan bahasa Melayu dibandingkan bahasa
Thai yang digalakkan oleh pemerintah pusat sebagai bahasa resmi negara.
Keterpaksaan ini dirasakan masyarakat Melayu Muslim di Thailand Selatan selama
puluhan tahun.
Penggunaan
bahasa Thai diwajibkan oleh pemerintah, baik itu di kantor kerajaan,
pemerintah, sekolah dan media. Dan ternyata strategi pemerintah Thailand memang
membuahkan hasil. Dalam waktu sekitar 50 tahun, banyak generasi muda Melayu
Muslim lebih suka berbahasa Thai dibandingkan bahasa Melayu, baik di sekolah
maupun dalam pergaulan sehari-hari. Tetapi mereka ’dipaksa’ keluarga untuk
berbicara dalam bahasa Melayu ketika mereka berkumpul dilingkungan keluarga.
2.6 Kehidupan Beragama di Thailand
Ummat
Islam di Thailand tidak seberuntung seperti Ummat Islam di Malaysia yang mana
hampir semua sarana da’wah seperti masjid-masjid disediakan oleh pemerintah
Malaysia. Demikian pula dengan Imam, Khotib, Bilal, dan pengurus-pengurus
masjid digaji langsung oleh pemerintah. Sarana media seperti TV maupun radio di
Malaysia diberikan waktu tiap malam untuk da’wah Islam.
Kawasan
Thailand bagian selatan yang merupakan basis masyarakat melayu-muslim adalah
daerah konflik agama dan persengketaan wilayah dengan latar belakang ras dan
agama yang berkepanjangan. Konflik Thailand selatan terjadi sejak diserahkannya
wilayah utara Melayu oleh pemerintah colonial Inggris kepada kerajaan Siam.
Saat itu dibuatlah Traktat Anglo-Siam yang menabut hak-hak dan martabat Muslim
Pattani. Akibatnya, muncul aksi-aksi perlawanan dan ditanggap pemerintah pusat
sebagai separatisme, hingga diberlakukan darurat militer di wilayah tersebut.
Di
beberapa kota pelabuhan, Islam bukanlah agama bagi komunitas perkampungan
melainkan agama para individu yang menyatu dalam jaringan asosiasi
internasional. Dari Singapura pembaharuan Islam menyebar ke seluruh Asia
Tenggara melalui perdagangan, haji, dan melalui gerakan pelajar, guru dan sufi.
Sudah
pada tempatnya dunia Islam segera meyampaikan appeal kepada pemerintah supaya
dilindungi, menyelamatkan Ummat Islam dan memberikan persamaan hak di segala
bidang kepada mereka, termasuk hak-hak untuk beribadah dan melaksanakan
ajaran-ajaran Islam, hak yang sama dengan hak-hak yang dmiliki penduduk yang
beragama Budha.
2.7 Problem-Problem Muslim
Dithailand
Bagi
sebagaian masyarakat di Indonesia, konflik yang terjadi di Thailand sebelah
selatan adalah konflik yang terjadi karena pertarungan antara Muslim melayu
dengan Budhis Thai. Hal ini tidak lepas dari fakta yang ada. Bahwasanya
sebagian besar masyarakat di daerah Thailand Selatan khususnya di daerah
Pattani adalah orang melayu muslim. Hal ini telah melahirkan berbagai macam
problem yang harus diatasi oleh umat muslim Thailand.
a. Politik, Keamanan dan Sosial
Dinamika
politik, keamanan dan sosial telah menumbuhkan gerakan di tingkat lokal di
Thailand Selatan, khususnya di tiga provinsi: Narathiwat, Yala dan Pattani.
Diantaranya adalah Barisan Revolusi Nasional (BRN), Pattani United Liberation
Organisation (PULO), dan Gerakan Mujahidin Islam Pattani (GMIP). BRN menuntut
pemisahan diri dengan menggunakan ideologi sosialis, dan bekerjasama dengan
Partai Komunis Melayu di perbatasan pada tahun 1950an. Sementara PULO adalah
gerakan separatis yang menuntut wilayah Patani –sebutan untuk tiga provinsi
Narathiwat, Yala dan Pattani- sebagai daerah yang merdeka. Mereka pada tuntutan
awal memilih untuk bergabung dengan Malaysia. Wakil Presiden pulo dipengasingan,
Haji Lukman Bin Lima, mengumandangkan ’Jihad’ sebagai gerakan melawan
’Pemerintah Kafir Thai-Buddhis’, yang ditujukan untuk mengakhiri dominasi
mereka atas wilayah Melayu Islam Patani. GMIP memiliki identitas keislaman yang
lebih kuat. Meskipun semua menuntut kemerdekaan, tetapi masing- masing memiliki
karakter dan identitas gerakan sendiri. Pada beberapa tahun setelah didirikan,
mereka mencoba disatukan dalam satu atap, dengan menggunakan istilah melayu
yaitu Bersatu. Tetapi karena sejak awal didirikan dengan ideologi yang berbeda,
Bersatu juga tidak efektif untuk menyatukan seluruh gerakan.
Meskipun
tidak memiliki peran untuk mengontrol anggota PULO yang masih aktif, generasi
tua PULO di Eropa menawarkan upaya negosiasi dengan pemerintah Thailand. Pada
Juli 2002, Thaksin memerintah keponakannya Jenderal Chaisit Shinawatra untuk
bernegosiasi dengan elemen PULO dan BRN. Ini menunjukkan bahwa kelompok
separatis masih perlu diperhitungkan kekuatannya. Meskipun para komandan
Bersatu telah ditangkap atau terbunuh, sisa gerilyawan masih melakukan beberapa
kekerasan.
Secara
prinsip pada tahun 2006, hampir seluruh faksi yang memberontak menandatangani
perjanjian nota rekonsiliasi: ’Joint Peace and Development Plan for South
Thailand [Perdamaian Bersama dan Rencana
Pembangunan Thailand Selatan’. Diantara mereka adalah PULO, Barisan Revolusi
Nasional Konggres (BRN-C), Bersatu, Gerakan Mujahidin Islam Pattani (GMIP), dan
Barisan Pembebasan Islam Pattani. Tetapi karena pemimpin GMIP yang ditangkap di
Malaysia, beberapa anggota masih melakukan operasi di Selatan, demikian juga BRN-C
masih melakukan serangan.
Di
tingkat grassroot, jurnalis Muslim melakukan advokasi yang didukung oleh LSM
independen di Thailand. Universitas Prince Sonkla di Pattani juga aktif
mendukung upaya perdamaian. The Asian Muslim Action Network (AMAN) juga
melakukan upaya rehabilitasi bagi masyarakat korban kekerasan dan generasi muda
yang mengalami imbas negatif dari konflik. Disamping, Majelis Ugama, pondok
pesantren dan madrasah secara prinsip mendukung upaya rekonsiliasi dan perdamaian.
Keinginan kuat mereka tidak diimbangi dengan kebijakan pemerintah atas
keamanan, dan lemahnya dukungan atas kemajuan pendidikan secara luas, dan
kesempatan kerja di Selatan.
b. Ekonomi
Sampai
akhir abad ke-19, kehidupan ekonomi Pattani sangat bergantung pada kegiatan
ekonomi subsisten, seperti pertanian padi, penangkapan ikan, pertambangan, dan
perdagangan eceran. Berbagai upaya pembaruan dan pemusatan pemerintahan yang
dilakukan Raja Chulalongkorn, terutama sejak 1890-an, membuat pendatang Siam
dan pedagang Cina semakin menguasai kendali ekonomi Thailand, termasuk juga
Pattani.
Munculnya
usaha pertambangan dan perkebunan karet yand dimodali non-muslim sejak awal
abad ke-20 ternyata tidak banyak mengubah struktur ekonomi lokal. Masyarakat
muslim Pattani harus puas sebagai pekerja rendahan, seperti penyadap karet dan
buruh kasar. Bahkan, peluang ekonomi yang baru muncul juga tetap meletakkan
mereka pada posisi yang kurang menguntungkan dan rendah pendapatannya, seperti
pesuruh di kantor-kantor dan pekerja bangunan.
Pemerintah
Thailand dan pembisnis non-muslim telah
berhasil dengan baik dalam mengolah hasil bumi baik dalam bidang perkebunan
maupun pertambangan, yang mana hal tersebut tidak dapat dilakukan oleh sebagian
besar umat muslim. Pada akhir tahun 1970-an, lebih dari 12 pertambangan
material telah dibuat, 10 diantaranya adalah penambangan terbuka di daerah
selatan dan sepertiga dari pemasukan
pemerintah Thailand berasal dari wilayah selatan. Meskipun demikian, apa yang
dilakukan oleh pemerintah Thailand tersebut tidak mendapat respon yang baik
dari sebagian masyarakat besar muslim.
Karena, mereka menganggap bahwasanya pemerintahan imperialis Thailand telah
merampas hasil alam masyarakat muslim Thailand. Hal ini dikarenakan tiadanya
hubungan timbal balik kepada masyarakat daerah selatan.
2.8 Muslim Dithailand Sebagai Minoritas
Perlulah
kita membatasi definisi atau pengertian tentang minoritas muslim, karena
terdapat sejumlah pertimbangan dalam masalah ini, dengan pengertian bahwa
Negara yang jumlah penduduk kaum musliminnya lebih dari setengah jumlah penduduk, itu tergolong Negara Islam.
Akan tetapi apabila jumlah kaum musliminnya kurang dari setengah jumlah
penduduk, maka digolongkan (minoritas) masuk ke dalam Negara yang bukan Islam.
Negara
bukan Islam yang berjulukan Negara Gajah Putih, tercatat minoritas kaum Muslim
yang berjumlah sekitar 5% atau 1,5 juta jiwa dari penduduk Thailand, Mayoritas
Muslim tinggal di wilayah selatan khususnya Pattani, Yala, dan marathiwat.
Mereka kerap terdiskriminasi dalam segala sektor kehidupan. Pada saat ini
mayoritas penduduk Thailand yang beragama Budha sekitar 80%. Daerah-dareh
tersebut awalnya merupakan bagian dari sebuah kerajaan Melayu Islam Pattani
Darusalam.Daerah yang sekarang disebut Thailand selatan pada masa dahulu berupa
kesultanan-kesultanan yang merdeka dan berdaulat, diantara kesultanan yang
terbesar adalah Patani. Thailand sebelumnya bernama Siam yang kemudian pada
tahun 1939 M, Nama Siam diganti dengan Muangthai.
Derita
yang dialami masyarakat muslim di Thailand Selatan yang sebagai minoritas ini
adalah akibat dari pembatasan ruang gerak mereka untuk memperoleh hak-haknya
dalam bidang ekonomi, politik, dan keagamaan. Juga karena problematika klasik
yang telah berlangsung lama yang menyalahi keyakinan dan nilai-nilai
keislamannya. Minoritas ini menuntut pemisahan diri dan kemerdekaan seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa perdamaian Aceh (Gerakan Aceh Merdeka)
menjadi model upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Thailand Selatan.
Dalam
tatanan sosial, muslimin Thailand mendapatkan julukan yang kurang enak untuk
didengar. Yaitu Kheik atau khaek yang berarti orang luar, yang secara harfiah
berarti pendatang atau orang yang datang menumpang. Dalam bahasa Thai, istilah
ini juga selama berabad-abad sudah dikenal untuk menyebut kaum pendatang
berkulit hitam dari daerah Melayu dan Asia Selatan, orang-orang Thai-Islam
menolak sebutan ini dan menyatakan bahwa kedatangan mereka (khususnya di
kawasan Thailand Selatan), jauh lebih awal daripada kedatangan orang-orang
Budha Thailand. Hingga istilah Thai-Islam dibuat pada 1940-an. Akan tetapi
istilah ini menimblkan kontradiksi karena istilah Thai merupakan sinonim dari
kata Budhasedangkan Islam identik dengan kaum muslim melayu pada waktu itu.
Jadi bagaimana mungkin seseorang menjadi budha dan muslim pada satu waktu? Maka
dari itu kaum muslim melayu lebih suka dipanggil Malay-Islam.
2.9 Perkembangan Minoritas Islam di
Thailand
Dalam
beberapa tahun terakhir, hubungan antar kerajaan Thai dengan masyarakat melayu-muslim
tampak membaik. Putra mahkota kerajaan sering berkunjung ke propinsi-propinsi
yang berbatasan dengan Malaysia itu. Pembangunan jalan dan gedung-gedung
sekolah menandai adanya perhatian yang serius dari pihak kerajaan. Dan yang tak
kalah pentingnya bagi melayu muslim adalah bahwa sejak tahu 1990-an mereka
mulai mendapat kebebasan dalam menjalankan syari’at islam. Namun keinginan
untuk memberlakukan hokum islam diwilayah mereka itu tetap terus mereka
perjuangkan.
Hak
Asasi Manusia (HAM). Akan tetapi, meski pemerintah mencoba memperbaiki
hubungannya dengan melayu-muslim, mereka masih belum bisa menghilangkan trauma
masa lalunya, terutama kalangan generasi tua. “kami masih ingat beberapa tahun
yang lalu untuk pakai kopiah dan sarung saja tidak diperbolehkan. Sehari-hari
pun kami diharuskan menggunakan bahasa thai”, ujar seorang bapak di Narathifat
mengenag pahitnya masa lalu. Kuatnya kesadaran akan masa lalu yang pahit,
ditambah oleh kenyataan masih adanya “kaki tangan kerajaan yang menganggap umat
islam di kawasan selatan Thai seperti api dalam sekam” membuat melayu-muslim
ini tetap menjaga jarak dengan pemerintah Thailand.
Hal
ini antara lain terindikasi dari cara mereka yang menjaga kemandirian financial
lembaga pendidikan tradisional pesantren. Dengan menolak menerima bantuan
pemerintah mereka bisa terbebas dari sikap pemerintah untuk mendikte mereka.
Konflik
di Thailand Selatan sangat kental dengan nilai-nilai agama. Mereka melihat
konflik ini adalah pertarungan antara Muslim Melayu dan Buddis Thai. Kata
‘Muslim’ dan ‘Buddhis’ mengarahkan pada kuatnya pengaruh agama dalam
masing-masing masyarakat. Apabila dilihat lebih dekat, identitas Muslim Melayu
di Selatan memang sangat kuat. Masyarakat khususnya di tiga provinsi: Pattani,
Yala, dan Narathiwat memiliki identitas keislaman dan keMelayuan yang tidak
bisa dipisahkan. Masyarakat lebih welcome dengan orang Melayu dari pada dengan
etnis lain, terutama Thai.
Penggunaan
bahasa melayu menurut statistik nasional Thailand juga sangat kuat di tiga
provinsi ini, di atas 70%, dibandingkan provinsi lain di Selatan: Satun dan
Songkhla. Tetapi bahasa melayu ‘dilarang’ digunakan sebagai bahasa resmi di
perkantoran, lembaga pendidikan pemerintah, dan tempat atau acara resmi
lainnya. Larangan ini tidak menyurutkan masyarakat untuk menggunakan bahasa
Melayu, karenabahasa ini memberi spirit identitas mereka, yang berbeda dengan
mayoritas warga Thailand, yang berbahasa Thai dan Buddha.
Dalam
tiga tahun terakhir, lebih dari 200 orang meninggal berkaitan dengan konflik di
Thailand Selatan. Korban lebih banyak ditembak dan dibom oleh kelompok yang
tidak dikenal, juga oleh pendekatan militer dan polisi terhadap muslim. Pada
April 2004, 30 pemuda Muslim ditembak oleh tentara di Masjid Krue Se. Masjid
ini sangat bersejarah karena didirikan pada abad 15, masjid tertua di Thailand.
Satu periode dengan masa kejayaan Islam pada Khalifah Abbasiyah.
Peristiwa
kedua adalah pada Oktober 2004, sekitar 175 Muslim Takbai meninggal di
perjalanan, setelah mereka demonstrasi kepada pemerintah dan dimasukkan dalam
truk dalam kondisi terikat tangan di belakang. Dua peristiwa ini sangat
membekas dihati Muslim, dan banyak pemuda dan masyarakat Muslim semakin
meningkatkan penyerangan terhadap berbagai organ pemerintah maupun masyarakat
Buddha. Reaksi Musli Selatan ini direspon negative oleh pemerintah, dengan
tetap memberlakukan darurat militer di kelima provinsi in
Pada
bulan februari 2004, Organisasi Konferensi Islam (OKI) minta pemerintah
Thailand untuk mengakhiri tindak kekerasan terhadap warga Muslim di wilayah
selatan Thailand. Seruan ini menjadi salah satu point dalam pernyataan hasil
pertemuan di Jeddah antara Sekretaris Jendral OKI Prof. Ekmeleddin Ihsanoglu
dan Perdana Mnteri Malaysia Abdullah Badawi, yang mengetuai Konferensi Tingkat
Tinggi Islam ke-10.
Prof.
Ihsanoglu mengungkapkan rasa ketidakpuasannya, karena tindak kekerasan terhadap
warga Muslim di Thailand masih terus terjadi meskipun OKI dan dunia
internasional sudah mendesak pemerintah Thailand untuk segera mengakhirinya.
Sekjen OKI itu kembali mengingatkan Thailand pentingnya menegakkan keadilan dan
investigasi atas kasus-kasus kekerasan terhadap warga Muslim. Ihsanoglu juga
menekankan agar pemerintah Thailand tidak bersikap diskriminasi dalam hal
pembangunan ekonomi dan social di wilayah selatan Thailand yang mayoritas
penduduknya beragama Islam.
Persyaratan
pemakaian ketat bahasa nasional Thai dan sikap yang mencerminkan nasionalisme
pro kebijakan pusat menjadi penghambat rekonsiliasi yang telah dilakukan baik
oleh lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan komisi rekonsiliasi.
Kehadiran masyarakat inetrnasional, antara lain Nahdlatul Ulama yang
menjembatani ulama di Thailand Selatan dan pemerintah kerajaan Thailand akan
banyak membuahkan hasil jika pemerintah pusat mengakomodasi gagasan dan harapan
Muslim Melayu di Selatan, yaitu penggunaan tradisi Muslim Melayu lebih terbuka,
dan pengakuan pemerintah pusat atas tradisi ini, khususnya di Pattani, Yala,
dan Narathiwat. Sementara itu, Partai
Demokrat yang menekankan persatuan kuat Negara Thailand tidak berbuat banyak
dalam perdamaian di Selatan, khususnya mendukung kepentingan Muslim.
No comments:
Post a Comment