Friday, February 16, 2018

Sejarah masuknya islam di thailand,Perkembangan Islam di Thailand,Lembaga-Lembaga Islam di Thailand, Pendidikan di Thailand, Kondisi Pemerintahaan di Thailand, Kehidupan Beragama di Thailand, Problem-Problem Muslim Dithailand,Muslim Dithailand Sebagai Minoritas, Perkembangan Minoritas Islam di Thailand



BAB I
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Masuknya Islam di Thailand
Thailand biasa disebut juga Muangthai, atau Muangthai Risabdah, atau Siam, atau negeri gajah putih, terletak di sebelah utara Malaysia, dan sering dilukiskan  sebagai bunga yang mekar diatas sebuah tangkai. Thailand merupakan satu-satunya negeri di Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah oleh kekuasaan barat atau Negara lain, karenaduahalyaitukarena Thailand memilikisistemsuksesi yang mantappadaabad ke-19 dan yang kedua Thailand mampumengeksploistasipersaingandanketeganganantaraindocinaPerancisdankerajaanInggris. Di Thailand, negeri yang mayoritasnya beragama Budha, terdapat lebih dari 10% penduduk muslim dari seluruh populasi penduduk Thailand yang berjumlah kurang lebih 67 juta orang.
Diperkirakan para penyebar Agama Islam yang paling banyak datang ke Nusantara diperkirakan sekitar tahun 1400M atau secara berturut datang setelah itu hingga abad ke-15 dan ke-16. Dan diduga bahwa penyebar-penyebar tersebut adalah keturunan bani Abbasyiah.
Adapun pendapat lain mengatakan bahwa Islam diperkirakan datang ke negara Thailand sekitar pada abad ke-10 atau 11 melalui jalur perdagangan. Yang mana penyebaran Islam ini dilakukan oleh para guru sufi dan pedagang yang berasal dari wilayah Arab dan pesisir India. Pendapat lain ada yang mengatakan Islam masum ke Thailand melalui Kerajaan Samudra Pasai di Aceh.
Salah satu bukti yang menguatkan pendapat ini adalah ditemukannya sebuah batu nisan yang bertuliskan Arab di dekat Kampung Teluk Cik Munah, Pekan Pahang yang bertepatan pada tahun 1028 M.
Dahulu, ketika Kerajaan Samudera Pasai ditaklukkan oleh kerajaan Siam (Thailand), banyak orang-orang Islam yang ditawan, yang mana ketika itu Raja Zainal Abidin lah salah satu tawanan kerajaan Siam yang kemudian di bawa ke Thailand. Para tawanan itu akan dibebaskan apabila telah membayar uang tebusan. Kemudian para tawanan yang telah bebas itu ada yang kembali ke Indonesia dan ada pula yang menetap di Thailand dan menyebarkan agama Islam di wilayah Thailand Selatan yangberbatasan langsung dengan Malaysia.
Pada tahap pertama Islam diwarnai dakwahnya dengan Tasawuf dan Mistik setidaknya sampai pada abad ke-17. Hal ini karena dirasa paling cocok dengan latar belakang masyarakat setempat yang dipengaruhi oleh asketisme Hindu-Budha dan sinkretisme kepercayaan local dan tarekat cenderung lebih toleran dengan tradisi semacam itu. Sehingga ditemukan bahwa terdapat nama-nama ulama sufi terkenal sebagai penyebar Islam, diantaranya adalah Syiekh Syafiuddin Ahmad Ad Dajjani Al-Qusyasyi, beliau adalah seorang keturunan Abbas bin Abdul Muthalib (paman Nabi Muhammad s.a.w). diceritakan juga bahwa ada dua orang yang sezaman/bersahabat karib yang sama-sama menjalankan aktivitas dakwah Syeikh Syafiuddin di Pattani. banyak yang menduga bahwa baliaulah yang pertama mengislamkan Pattani, barangkali anggapan ini adalah satu kekeliruan karena Pattani memeluk Islam jauh lebih awal dari kedatangan beliau ke Pattani, bahkan Pattani dianggap tampat yang telah lama menerima Islam tak ubahnya seperti di Aceh juga.
Menurut Haji Abdullah Halim Bashah, penulis asal Malaysia, kawasan Pattani—dulu juga dikenal sebagai Langkasuka—yang pertama menerima kedatangan Islam adalah Patthalung, dekat Ligor. Setelah berkembang kurang lebih 300 tahun, kemudian muncul kerajaan Islam di Pattani dengan rajanya yang pertama Sultan Sulaiman Syah. Raja yang juga berkerabat dengan kerajaan di Kelantan Selatan ini berkuasa dari 1357 sampai 1398.
Muslim di Thailand sekitar 15 persen, dibandingkan penganut Budha, sekitar 80 persen. Mayoritas Muslim tinggal di Selatan Thailand, sekitar 1,5 juta jiwa, atau 80 persen dari total penduduk, khususnya di Patani, Yala dan Narathiwat, tiga provinsi yang sangat mewarnai dinamika di Thailand Selatan. Tradisi Muslim di wilayah ini mengakar sejak kerajaan Sri Vijaya yang menguasai wilayah Asia Tenggara, termasuk Thailand Selatan. Menurut Kantor Statistik Nasional Thailand pada tahun 2007, negara ini memiliki 3.494 masjid, dengan jumlah terbesar (636) di provinsi Pattani .Menurut Departemen Agama (RAD), 99% dari masjid yang berhubungan dengan Sunni cabang Islam dengan 1% sisanya Syiah
Thailand Selatan terdiri dari lima provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan Songkhla, dengan total penduduk 6.326.732 (Kantor Statistik Nasional, Thailand, 2002). Mayoritas penduduk Muslim terdapat di empat provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun, yaitu sekitar 71% diperkotaan, dan 86 % di pedesaan (YCCI, 2006: 34), sedangkan di Songkhla, Muslim sekitar 19 %, minoritas, dan 76.6 % Buddha. Sementara mayoritas penduduk yang berbahasa Melayu, ratarata 70 persen berada di tiga provinsi: Pattani, Yala dan Narathiwat, sementara penduduk berbahasa China, ada di tiga provinsi: Narathiwat, 0.3 %, Pattani, 1.0 %, dan Yala, 3.0 % (Sensus Penduduk, Thailand, 2000)

2.2 Perkembangan Islam di Thailand
Dilihat dari sejarah, berkembangnya islam di thailand sudah sejak abad ke-12M yang berakhir dari kesultanan Pattani. Masyarakat melayu muslim Pattani hingga sekarang tinggal di Thailand bagian selatan, yaitu Pattani, Yalla, Narathiwat, dan Satun. Sebagian muslim lain juga mendiami Provinsi Songkla.Seluruh provinsi yang mayoritas muslim ini dulunya adalah termasuk wilayah kesultanan Pattani pada abad ke-17 dan 18. Kesultanan Pattani ini banyak melahirkan ulama besar, salah satunya adalah Daud bin Abdullah al Fattani (1874M). Namun akhirnya Pattani Raya dipaksa Mengintegrasi diri dengan pemerintah thai pada masa Raja Chulalongkorn (Rama v) tahun 1902.
Proses masuknya Islam di Thailand dimulai sejak kerajaan Siam mengakuisi kerajaan Pattani Raya (atau lebih dikenal oleh penduduk muslim Thai sebagai Pattani Darussalam). Pattani berasal dari kata Al Fattani yang berarti kebijaksanaan atau cerdik karena di tempat itulah banyak lahir ulama dan cendekiawan muslim terkenal. Berbagai golongan masyarakat dari tanah Jawa banyak pula yang menjadi pengajar Al Qur’an dan kitab-kitab Islam berbahasa Arab Jawi. Beberapa kitab Arab Jawi sampai saat ini masih diajarkan di beberapa sekolah muslim dan pesantren di Thailand Selatan.
Perkembangan Islam di Thailand semakin pesat saat beberapa pekerja muslim dari Malaysia dan Indonesia masuk ke Thailand pada akhir abad ke-19. Saat itu mereka membantu kerajaan Thailand membangun beberapa kanal dan system perairan di Krung Theyp Mahanakhon (sekarang dikenal sebagai Propinsi Bangkok).
Beberapa keluarga muslim bahkan mampu menggalang dana dan mendirikan masjid sebagai saran ibadah, sebuah masjid yang didirikan pada tahun 1949 oleh warga Indonesia dan komunitas muslim asli Thailand. Tanah wakaf masjid ini adalah milik Almarhum Hjai Saleh, seorang warga Indonesia yang bekerja di Bangkok.
Masjid Jawa adalah masjid lain yang juga didirikan oleh komunitas warga muslim Indonesia di Thailand. Sesuai dengan namanya, pendiri masjid ini adalah warga Indonesia suku Jawa yang bekerja di Thailand. Namun demikian, anak cucu para pendiri masjid ini berbicara dalam bahasa Thai dan Inggris saat menceritakan asal muasal berdirinya Masjid Jawa ini. Masjid Indonesia dan Masjid Jawa hanyalah sebagian dari lima puluhan masjid lain yang tersebar di seluruh penjuru Bangkok.
Daerah Pattani mempunyai pertalian erat dengan kerajaan Islam Aceh. Pertalian yang dimaksud dapat dilihat dalam dua sudut; Pertama, dari sudut hubungan sejarah Islam dengan Samudera Pasai (sebelum menjadi Aceh). Kedua, dari sudut pengaruh pemikiran Islam dari para ulama Aceh denga Pattani di masa selanjutnya. Pengaruh pemikiran yang dimaksud mencakup fiqih, kalam, maupun tasawuf.
Khusus dalam masalah pemikiran tasawuf, secara tradisi dalam pandangan orang-orang Islam di Pattani, selalu menganggap sumber kerohanian berasal dari Samudera Pasai. Salah seorang ulama Islam dari Pasai yang sangat berperan dalam menyebarkan Islam di Pattani adalah Syeikh Sa’id Barsisa.[6] Syeikh dari Pasai ini sering menyebut wilayah ini dengan sebutan “Patani Darussalam” (Pattani Negeri Damai). Sebagian lain menyebut Pattani dengan “Darul Ma’arif” (Negeri Pengetahuan).
Peran Syeikh Sa’id tidak dapat dipungkiri sangat besar dalam melahirkan ulama-ulama ternama di Pattani. Wan Ahmad, misalnya. Ia seorang ulama besar yang banyak tinggal di Mekah, dan hampir semua pelajar muslim Nusantara belajar padanya. Selain ahli dalam bidang tata bahasa Arab dan Fiqh, beliau juga ahli tasawuf. Diantara karya-karya Wan Ahmad adalah beberapa hasil kerja beliau dalam bidang tata bahasa yang diterbitkan oleh sebuah percetakan di Kairo, termasuk didalamnya beberapa syair. Dan karya beliau yang lain adalah Bahja al Mubtadin wa farha al mujtadin (1892) dan Fatawa al-pattaniyya. Selain Wan Ahmad, ulama besar yang lainnya adalah Syekih Daud bin Abdullah bin Idris al-Fattani. Ia menonjol dalam bidang fiqh, tetapi cukup menyukai tasawwuf. Karyanya tidak kurang dari 57 buah, dengan berbagai bahasan Studi.
Masyarakat muslim Thailand pada umumnya mengamalkan ajaran Islam secara independen, termasuk soal hukum Islam yang berkenaan dengan masalah keluarga, sejauh tidak berkaitan dengan undang-undang negara. Namun demikian, terdapat beberapa badan yang secara langsung menangani syariat Islam, seperti menyangkut undang-undang keluarga dan waris. Lembaga ini dikenal sebagai Majelis Agama Bahagian Wilayah. Pembentukan lembaga ini sepenuhnya mendapat dukungan dari pemerintah Thailand lewat keputusan Kerajaan (Royal Decree) yang berkenaan dengan perlindungan terhadap agama Islam pada 1945.
Sejak 1946, pemerintah Thailand juga memberikan hak khusus untuk melaksanakan undang-undang keluarga dan hukum waris sesuai dengan ajaran agama Islam di empat Wilayah yang berpenduduk mayoritas muslim, yakni Pattani, Narathiwat, Yala, dan Satul. Untuk itu, pemerintah membentuk sebuah lembaga yang disebut Mahkamah Wilayah. Di setiap kantor di keempat wilayah ini terdapat seorang kadi Islam, yang juga disebut Datuk Yuthitham.
2.3 Lembaga-Lembaga Islam di Thailand
Thailand merupakan Negara yang penduduknya minoritas muslim karena mayoritas penduduk disana beragama budha. Meskipun penduduk muslimnya minoritas tetapi di Thailand memiliki lembaga atau kelompok yang kuat dan aktif. Empat kelompok gerakan Islam yang kuat dan aktif : pertama, golongan tradisional yang sangat berpengaruh di selatan. Kedua, golongan ortodoks yang menerbitkan majalah Rabbitah. Ketiga, golongan modernis yang menerbitkan jurnal al jihad. Keempat, golongan Chularajamontri 66 yang disponsori oleh pemerintah. Terdapat beberapa kelompok gerakan.
1.      Kelompok tertua adalah Barisan Nasional Pembebas Patani (BNPP) yang didirikan oleh seorang aristrokat Melayu. Barisan ini adalah kelompok Islam konservatif dan dipercaya punya hubungan yang dekat dengan Partai Islam se Malaysia (PAS) yang berkuasa di Negara tetangga Kelantan.
2.      Barisan Revolusi Nasional (BRN) yang didirikan oleh seorang guru agama, punya suatu sikap yang didasarkan pada ajaran kiri. Karena diduga beraliansi dengan Partai Komunis Malaysia (CPM), BRN Nampak kurang menerima dukungan dari rakyaat. Kelompok sabilillah ( jalan Allah) adalah kelompok berbasis kota yang muncul selama demonstrasi besar yang dilakukan Patani di akhir tahun 1975 dan awal 1976.
3.      Kelompok yang paling sedikit dikenal adalah Desember Hitam 1902 yang identitasnya diambil dari peristiwa sejarah penyatuan Patani Raya kedalam kerajaaan Thai. Kelompok yang paling terkenal adalah Patani United Liberation Organization (PULO) didirikan seorang aristocrat dan memiliki tujuan menyatukan semua faksi-faksi politik yang aktif melawan imperialisme Thai nampak ditujukan pada semua masyarakat melayu.
2.4 Pendidikan di Thailand
Pendidikan yang digalakkan oleh pemerintah Kerajaan Thailand tergolong bersifat deskriminatif terhadap Islam. Pada tahun 1923 M, beberapa Madrasah Islam yang dianggap ekstrim ditutup, dalam sekolah-sekolah Islam harus diajarkan pendidikan kebangsaan dan pendidikan etika bangsa yang diambil dari inti sari ajaran Budha.
Pada saat-saat tertentu anak-anak sekolah pun harus menyanyikan lagu-lagu bernafaskan Budha dan kepada guru harus menyembah dengan sembah Budha. Kementrian pendidikan memutar balik sejarah, dikatakannya bahwa orang Islam itulah yang jahat ingin menentang pemerintahan shah di Siam dan menjatuhkan raja. Dampak yang menonjol dari perkembangan yang berorientasi ke dalam hal ini. Misalnya, pada tahun 1966, sekitar 60% anak-anak di Pattani tidak dapat berbicara bahasa nasional. Hal itu berkaitan dengan banyaknya orang tua Muslim yang lebih senang mengirimkan anak-anaknya ke sekolah agama.
Strategi yang perlu dibangun masyarakat muslim di Thailand Selatan pada saat ini adalah memajukan pendidikan, mendukung pembangunan nasional, dan menjaga stabilitas local. Namun, sampai saat inipun masyarakat muslim Pattani Thailand menghadapi diskriminasi komplek dan teror yang berlarut-larut. Sehingga kehidupan sosial maupun politik menjadi sangat terbatas. Akhirnya pemerintah Thailand juga belum mampu memberi pendidikan merata terhadap kaum muslim. Tekanan berbasis keamanan selalu mengancam mereka. Kesenjangan ini menurunkan nasionalisme mesyarakat di luar mayoritas Thai-Budha.


2.5 Kondisi Pemerintahaan di Thailand
Pada perkembangan Muslim Pattani antara 2004 hingga Mei 2007. Periode ini sangat urgen tidak hanya karena banyaknya korban dalam kurun waktu ini, setidaknya 2000 korban meninggal. Sehingga di penghujung tahun 2008, Thailand ingin memiliki Perdana Menteri baru yang diharapkan dapat membawa angin perubahan. Dengan rezim barunya harus berjuang keras mencari alternative dalam menangani masalah konflik Thailand Selatan.Rupanya perdamaian Aceh (Gerakan Aceh Merdeka) menjadi model upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Thailand Selatan. Identitas lokal di Thailand Selatan lebih dekat dengan Kelantan dan Kedah, Malaysia. Masyarakat secara tradisional lebih memilih menggunakan bahasa Melayu dibandingkan bahasa Thai yang digalakkan oleh pemerintah pusat sebagai bahasa resmi negara. Keterpaksaan ini dirasakan masyarakat Melayu Muslim di Thailand Selatan selama puluhan tahun.
Penggunaan bahasa Thai diwajibkan oleh pemerintah, baik itu di kantor kerajaan, pemerintah, sekolah dan media. Dan ternyata strategi pemerintah Thailand memang membuahkan hasil. Dalam waktu sekitar 50 tahun, banyak generasi muda Melayu Muslim lebih suka berbahasa Thai dibandingkan bahasa Melayu, baik di sekolah maupun dalam pergaulan sehari-hari. Tetapi mereka ’dipaksa’ keluarga untuk berbicara dalam bahasa Melayu ketika mereka berkumpul dilingkungan keluarga.

2.6 Kehidupan Beragama di Thailand
Ummat Islam di Thailand tidak seberuntung seperti Ummat Islam di Malaysia yang mana hampir semua sarana da’wah seperti masjid-masjid disediakan oleh pemerintah Malaysia. Demikian pula dengan Imam, Khotib, Bilal, dan pengurus-pengurus masjid digaji langsung oleh pemerintah. Sarana media seperti TV maupun radio di Malaysia diberikan waktu tiap malam untuk da’wah Islam.
Kawasan Thailand bagian selatan yang merupakan basis masyarakat melayu-muslim adalah daerah konflik agama dan persengketaan wilayah dengan latar belakang ras dan agama yang berkepanjangan. Konflik Thailand selatan terjadi sejak diserahkannya wilayah utara Melayu oleh pemerintah colonial Inggris kepada kerajaan Siam. Saat itu dibuatlah Traktat Anglo-Siam yang menabut hak-hak dan martabat Muslim Pattani. Akibatnya, muncul aksi-aksi perlawanan dan ditanggap pemerintah pusat sebagai separatisme, hingga diberlakukan darurat militer di wilayah tersebut.
Di beberapa kota pelabuhan, Islam bukanlah agama bagi komunitas perkampungan melainkan agama para individu yang menyatu dalam jaringan asosiasi internasional. Dari Singapura pembaharuan Islam menyebar ke seluruh Asia Tenggara melalui perdagangan, haji, dan melalui gerakan pelajar, guru dan sufi.
Sudah pada tempatnya dunia Islam segera meyampaikan appeal kepada pemerintah supaya dilindungi, menyelamatkan Ummat Islam dan memberikan persamaan hak di segala bidang kepada mereka, termasuk hak-hak untuk beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam, hak yang sama dengan hak-hak yang dmiliki penduduk yang beragama Budha.

2.7 Problem-Problem Muslim Dithailand
Bagi sebagaian masyarakat di Indonesia, konflik yang terjadi di Thailand sebelah selatan adalah konflik yang terjadi karena pertarungan antara Muslim melayu dengan Budhis Thai. Hal ini tidak lepas dari fakta yang ada. Bahwasanya sebagian besar masyarakat di daerah Thailand Selatan khususnya di daerah Pattani adalah orang melayu muslim. Hal ini telah melahirkan berbagai macam problem yang harus diatasi oleh umat muslim Thailand.


a.      Politik, Keamanan dan Sosial
Dinamika politik, keamanan dan sosial telah menumbuhkan gerakan di tingkat lokal di Thailand Selatan, khususnya di tiga provinsi: Narathiwat, Yala dan Pattani. Diantaranya adalah Barisan Revolusi Nasional (BRN), Pattani United Liberation Organisation (PULO), dan Gerakan Mujahidin Islam Pattani (GMIP). BRN menuntut pemisahan diri dengan menggunakan ideologi sosialis, dan bekerjasama dengan Partai Komunis Melayu di perbatasan pada tahun 1950an. Sementara PULO adalah gerakan separatis yang menuntut wilayah Patani –sebutan untuk tiga provinsi Narathiwat, Yala dan Pattani- sebagai daerah yang merdeka. Mereka pada tuntutan awal memilih untuk bergabung dengan Malaysia. Wakil Presiden pulo dipengasingan, Haji Lukman Bin Lima, mengumandangkan ’Jihad’ sebagai gerakan melawan ’Pemerintah Kafir Thai-Buddhis’, yang ditujukan untuk mengakhiri dominasi mereka atas wilayah Melayu Islam Patani. GMIP memiliki identitas keislaman yang lebih kuat. Meskipun semua menuntut kemerdekaan, tetapi masing- masing memiliki karakter dan identitas gerakan sendiri. Pada beberapa tahun setelah didirikan, mereka mencoba disatukan dalam satu atap, dengan menggunakan istilah melayu yaitu Bersatu. Tetapi karena sejak awal didirikan dengan ideologi yang berbeda, Bersatu juga tidak efektif untuk menyatukan seluruh gerakan.
Meskipun tidak memiliki peran untuk mengontrol anggota PULO yang masih aktif, generasi tua PULO di Eropa menawarkan upaya negosiasi dengan pemerintah Thailand. Pada Juli 2002, Thaksin memerintah keponakannya Jenderal Chaisit Shinawatra untuk bernegosiasi dengan elemen PULO dan BRN. Ini menunjukkan bahwa kelompok separatis masih perlu diperhitungkan kekuatannya. Meskipun para komandan Bersatu telah ditangkap atau terbunuh, sisa gerilyawan masih melakukan beberapa kekerasan.
Secara prinsip pada tahun 2006, hampir seluruh faksi yang memberontak menandatangani perjanjian nota rekonsiliasi: ’Joint Peace and Development Plan for South Thailand  [Perdamaian Bersama dan Rencana Pembangunan Thailand Selatan’. Diantara mereka adalah PULO, Barisan Revolusi Nasional Konggres (BRN-C), Bersatu, Gerakan Mujahidin Islam Pattani (GMIP), dan Barisan Pembebasan Islam Pattani. Tetapi karena pemimpin GMIP yang ditangkap di Malaysia, beberapa anggota masih melakukan operasi di Selatan, demikian juga BRN-C masih melakukan serangan.
Di tingkat grassroot, jurnalis Muslim melakukan advokasi yang didukung oleh LSM independen di Thailand. Universitas Prince Sonkla di Pattani juga aktif mendukung upaya perdamaian. The Asian Muslim Action Network (AMAN) juga melakukan upaya rehabilitasi bagi masyarakat korban kekerasan dan generasi muda yang mengalami imbas negatif dari konflik. Disamping, Majelis Ugama, pondok pesantren dan madrasah secara prinsip mendukung upaya rekonsiliasi dan perdamaian. Keinginan kuat mereka tidak diimbangi dengan kebijakan pemerintah atas keamanan, dan lemahnya dukungan atas kemajuan pendidikan secara luas, dan kesempatan kerja di Selatan.
b.      Ekonomi
Sampai akhir abad ke-19, kehidupan ekonomi Pattani sangat bergantung pada kegiatan ekonomi subsisten, seperti pertanian padi, penangkapan ikan, pertambangan, dan perdagangan eceran. Berbagai upaya pembaruan dan pemusatan pemerintahan yang dilakukan Raja Chulalongkorn, terutama sejak 1890-an, membuat pendatang Siam dan pedagang Cina semakin menguasai kendali ekonomi Thailand, termasuk juga Pattani.
Munculnya usaha pertambangan dan perkebunan karet yand dimodali non-muslim sejak awal abad ke-20 ternyata tidak banyak mengubah struktur ekonomi lokal. Masyarakat muslim Pattani harus puas sebagai pekerja rendahan, seperti penyadap karet dan buruh kasar. Bahkan, peluang ekonomi yang baru muncul juga tetap meletakkan mereka pada posisi yang kurang menguntungkan dan rendah pendapatannya, seperti pesuruh di kantor-kantor dan pekerja bangunan.
Pemerintah Thailand dan pembisnis non-muslim  telah berhasil dengan baik dalam mengolah hasil bumi baik dalam bidang perkebunan maupun pertambangan, yang mana hal tersebut tidak dapat dilakukan oleh sebagian besar umat muslim. Pada akhir tahun 1970-an, lebih dari 12 pertambangan material telah dibuat, 10 diantaranya adalah penambangan terbuka di daerah selatan dan  sepertiga dari pemasukan pemerintah Thailand berasal dari wilayah selatan. Meskipun demikian, apa yang dilakukan oleh pemerintah Thailand tersebut tidak mendapat respon yang baik dari sebagian masyarakat  besar muslim. Karena, mereka menganggap bahwasanya pemerintahan imperialis Thailand telah merampas hasil alam masyarakat muslim Thailand. Hal ini dikarenakan tiadanya hubungan timbal balik kepada masyarakat daerah selatan.
2.8 Muslim Dithailand Sebagai Minoritas
Perlulah kita membatasi definisi atau pengertian tentang minoritas muslim, karena terdapat sejumlah pertimbangan dalam masalah ini, dengan pengertian bahwa Negara yang jumlah penduduk kaum musliminnya lebih dari setengah  jumlah penduduk, itu tergolong Negara Islam. Akan tetapi apabila jumlah kaum musliminnya kurang dari setengah jumlah penduduk, maka digolongkan (minoritas) masuk ke dalam Negara yang bukan Islam.
Negara bukan Islam yang berjulukan Negara Gajah Putih, tercatat minoritas kaum Muslim yang berjumlah sekitar 5% atau 1,5 juta jiwa dari penduduk Thailand, Mayoritas Muslim tinggal di wilayah selatan khususnya Pattani, Yala, dan marathiwat. Mereka kerap terdiskriminasi dalam segala sektor kehidupan. Pada saat ini mayoritas penduduk Thailand yang beragama Budha sekitar 80%. Daerah-dareh tersebut awalnya merupakan bagian dari sebuah kerajaan Melayu Islam Pattani Darusalam.Daerah yang sekarang disebut Thailand selatan pada masa dahulu berupa kesultanan-kesultanan yang merdeka dan berdaulat, diantara kesultanan yang terbesar adalah Patani. Thailand sebelumnya bernama Siam yang kemudian pada tahun 1939 M, Nama Siam diganti dengan Muangthai.
Derita yang dialami masyarakat muslim di Thailand Selatan yang sebagai minoritas ini adalah akibat dari pembatasan ruang gerak mereka untuk memperoleh hak-haknya dalam bidang ekonomi, politik, dan keagamaan. Juga karena problematika klasik yang telah berlangsung lama yang menyalahi keyakinan dan nilai-nilai keislamannya. Minoritas ini menuntut pemisahan diri dan kemerdekaan seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa perdamaian Aceh (Gerakan Aceh Merdeka) menjadi model upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Thailand Selatan.
Dalam tatanan sosial, muslimin Thailand mendapatkan julukan yang kurang enak untuk didengar. Yaitu Kheik atau khaek yang berarti orang luar, yang secara harfiah berarti pendatang atau orang yang datang menumpang. Dalam bahasa Thai, istilah ini juga selama berabad-abad sudah dikenal untuk menyebut kaum pendatang berkulit hitam dari daerah Melayu dan Asia Selatan, orang-orang Thai-Islam menolak sebutan ini dan menyatakan bahwa kedatangan mereka (khususnya di kawasan Thailand Selatan), jauh lebih awal daripada kedatangan orang-orang Budha Thailand. Hingga istilah Thai-Islam dibuat pada 1940-an. Akan tetapi istilah ini menimblkan kontradiksi karena istilah Thai merupakan sinonim dari kata Budhasedangkan Islam identik dengan kaum muslim melayu pada waktu itu. Jadi bagaimana mungkin seseorang menjadi budha dan muslim pada satu waktu? Maka dari itu kaum muslim melayu lebih suka dipanggil Malay-Islam.

2.9 Perkembangan Minoritas Islam di Thailand
Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan antar kerajaan Thai dengan masyarakat melayu-muslim tampak membaik. Putra mahkota kerajaan sering berkunjung ke propinsi-propinsi yang berbatasan dengan Malaysia itu. Pembangunan jalan dan gedung-gedung sekolah menandai adanya perhatian yang serius dari pihak kerajaan. Dan yang tak kalah pentingnya bagi melayu muslim adalah bahwa sejak tahu 1990-an mereka mulai mendapat kebebasan dalam menjalankan syari’at islam. Namun keinginan untuk memberlakukan hokum islam diwilayah mereka itu tetap terus mereka perjuangkan.
Hak Asasi Manusia (HAM). Akan tetapi, meski pemerintah mencoba memperbaiki hubungannya dengan melayu-muslim, mereka masih belum bisa menghilangkan trauma masa lalunya, terutama kalangan generasi tua. “kami masih ingat beberapa tahun yang lalu untuk pakai kopiah dan sarung saja tidak diperbolehkan. Sehari-hari pun kami diharuskan menggunakan bahasa thai”, ujar seorang bapak di Narathifat mengenag pahitnya masa lalu. Kuatnya kesadaran akan masa lalu yang pahit, ditambah oleh kenyataan masih adanya “kaki tangan kerajaan yang menganggap umat islam di kawasan selatan Thai seperti api dalam sekam” membuat melayu-muslim ini tetap menjaga jarak dengan pemerintah Thailand.
Hal ini antara lain terindikasi dari cara mereka yang menjaga kemandirian financial lembaga pendidikan tradisional pesantren. Dengan menolak menerima bantuan pemerintah mereka bisa terbebas dari sikap pemerintah untuk mendikte mereka.
Konflik di Thailand Selatan sangat kental dengan nilai-nilai agama. Mereka melihat konflik ini adalah pertarungan antara Muslim Melayu dan Buddis Thai. Kata ‘Muslim’ dan ‘Buddhis’ mengarahkan pada kuatnya pengaruh agama dalam masing-masing masyarakat. Apabila dilihat lebih dekat, identitas Muslim Melayu di Selatan memang sangat kuat. Masyarakat khususnya di tiga provinsi: Pattani, Yala, dan Narathiwat memiliki identitas keislaman dan keMelayuan yang tidak bisa dipisahkan. Masyarakat lebih welcome dengan orang Melayu dari pada dengan etnis lain, terutama Thai.
Penggunaan bahasa melayu menurut statistik nasional Thailand juga sangat kuat di tiga provinsi ini, di atas 70%, dibandingkan provinsi lain di Selatan: Satun dan Songkhla. Tetapi bahasa melayu ‘dilarang’ digunakan sebagai bahasa resmi di perkantoran, lembaga pendidikan pemerintah, dan tempat atau acara resmi lainnya. Larangan ini tidak menyurutkan masyarakat untuk menggunakan bahasa Melayu, karenabahasa ini memberi spirit identitas mereka, yang berbeda dengan mayoritas warga Thailand, yang berbahasa Thai dan Buddha.
Dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 200 orang meninggal berkaitan dengan konflik di Thailand Selatan. Korban lebih banyak ditembak dan dibom oleh kelompok yang tidak dikenal, juga oleh pendekatan militer dan polisi terhadap muslim. Pada April 2004, 30 pemuda Muslim ditembak oleh tentara di Masjid Krue Se. Masjid ini sangat bersejarah karena didirikan pada abad 15, masjid tertua di Thailand. Satu periode dengan masa kejayaan Islam pada Khalifah Abbasiyah.
Peristiwa kedua adalah pada Oktober 2004, sekitar 175 Muslim Takbai meninggal di perjalanan, setelah mereka demonstrasi kepada pemerintah dan dimasukkan dalam truk dalam kondisi terikat tangan di belakang. Dua peristiwa ini sangat membekas dihati Muslim, dan banyak pemuda dan masyarakat Muslim semakin meningkatkan penyerangan terhadap berbagai organ pemerintah maupun masyarakat Buddha. Reaksi Musli Selatan ini direspon negative oleh pemerintah, dengan tetap memberlakukan darurat militer di kelima provinsi in
Pada bulan februari 2004, Organisasi Konferensi Islam (OKI) minta pemerintah Thailand untuk mengakhiri tindak kekerasan terhadap warga Muslim di wilayah selatan Thailand. Seruan ini menjadi salah satu point dalam pernyataan hasil pertemuan di Jeddah antara Sekretaris Jendral OKI Prof. Ekmeleddin Ihsanoglu dan Perdana Mnteri Malaysia Abdullah Badawi, yang mengetuai Konferensi Tingkat Tinggi Islam ke-10.
Prof. Ihsanoglu mengungkapkan rasa ketidakpuasannya, karena tindak kekerasan terhadap warga Muslim di Thailand masih terus terjadi meskipun OKI dan dunia internasional sudah mendesak pemerintah Thailand untuk segera mengakhirinya. Sekjen OKI itu kembali mengingatkan Thailand pentingnya menegakkan keadilan dan investigasi atas kasus-kasus kekerasan terhadap warga Muslim. Ihsanoglu juga menekankan agar pemerintah Thailand tidak bersikap diskriminasi dalam hal pembangunan ekonomi dan social di wilayah selatan Thailand yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Persyaratan pemakaian ketat bahasa nasional Thai dan sikap yang mencerminkan nasionalisme pro kebijakan pusat menjadi penghambat rekonsiliasi yang telah dilakukan baik oleh lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan komisi rekonsiliasi. Kehadiran masyarakat inetrnasional, antara lain Nahdlatul Ulama yang menjembatani ulama di Thailand Selatan dan pemerintah kerajaan Thailand akan banyak membuahkan hasil jika pemerintah pusat mengakomodasi gagasan dan harapan Muslim Melayu di Selatan, yaitu penggunaan tradisi Muslim Melayu lebih terbuka, dan pengakuan pemerintah pusat atas tradisi ini, khususnya di Pattani, Yala, dan Narathiwat.  Sementara itu, Partai Demokrat yang menekankan persatuan kuat Negara Thailand tidak berbuat banyak dalam perdamaian di Selatan, khususnya mendukung kepentingan Muslim.


No comments:

Post a Comment