Friday, February 16, 2018

Makalah tentang Produk Perbankan Syariah




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-undang Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing). 

Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari mekanisme bunga (interest free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar transaksi Bank Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang dapat dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli), ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain.

B. Perumusan Masalah
 dari latar belakang tersebut maka perumusan masalah ada 3:
1.    Apa saja akad dasar perbankan syariah?
2.    Apa saja produk produk dari perbankan syariah?
3.    Apa saja manfaat dari produk produk syariah tersebut?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Produk Perbankan Syariah
Lima Akad Dasar Transaksi Syari’ah :
1. TITIPAN (WADIAH)
2. BAGI HASIL (SYIRKAH)
3. JUAL-BELI (TIJAROH)
4. SEWA (IJARAH)
5. JASA/FEE( AL AJR WALUMULLAH)

B. Produk Penghimpunan Dana (Funding)
Bentuk-bentuk Produk Funding
1. Giro: Giro Wadiah dan Giro Mudharabah
2. Tabungan: Tabungan Wadiah dan Tabungan Mudharabah.
3. Deposito: Deposito Mudharabah.

Teknis Operasional mendasarkan pada:
  1. PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No. 10/16/PBI/2008.
  2. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
  3. Al-Wadiah

Al-Wadiah dibedakan menjadi 2 macam:
  1. Wadiah yad amanah, adalah titipan dari pihak nasabah, dimana bank selaku penerima titipan tidak  boleh menggunakan sesuatu yg dititipkan tsb. Akad ini dipakai dalam produk Safe Deposit Box (SDB).
  2. Wadiah adh-dhamanah, adalah titipan dari pihak nasabah, dimana bank selaku penerima titipan diperkenankan menggunakan dana yang dititipkan. Akad ini dipakai dalam produk giro wadiah maupun tabungan wadiah. Sehingga bank biasanya akan memberikan bonus kepada nasabah penyimpan yg besarnya sesuai dengan kebijakan bank dan tidak boleh diperjanjikan.

Wadiah yad Amanah :
Adalah titipan murni dari satu pihak kepada pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kepada si penitip kapan saja si penitip menghendaki.
Landasan : QS. An-Nisa : 58; QS. Al. Baqarah : 283

Al-Mudharabah
Akad kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal (100%), sedang pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan usaha mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, kerugian ditanggung oleh pemodal selama kerugian tidak akibat kelalaian pengelola
Landasan Al-Qur’an :
1. QS. Muzamil : 20;
2. Al-Jum’ah : 10;
3. Al-Baqarah : 198

Jenis Mudharabah  :
1. Mudharabah Mutlaqah (tanpa syarat)
2. Mudharabah Muqayyadah (dengan syarat)

Aplikasi pada perbankan :
1. Sisi Funding
  • Giro
  • Tabungan berjangka
2. Deposito biasa
3. Deposito special


Sisi Pembiayaan :
1. Pembiayaan modal kerja
2. Investasi khusus

Penjelasan Jenis Akad Mudharabah
Mudharabah Muthlaqah adl bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yg cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.(Jenis Mudharabah Muthlaqah inilah yang biasanya dipakai oleh bank dlm skim penghimpunan dana melalui, giro, tabungan maupun deposito). Mudharabah Muqayyadah, adl btk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya terbatas baik jenis usaha maupun waktunya.(Jenis Mudharabah Muqayyadah inilah yang biasanya dipakai oleh bank dlm kegiatan penyaluran dana melalui pembiayaan mudharabah) 

C. Produk Pembiayaan Konsumtif
1. Syarat2 Pembiayaan Murabahah
  • Bank menyediakan dana pembiayaan berdasarkan perjanjian berdasarkan jual beli barang
  • Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada bank ditentukan berdasarkan kesepakatan bank dan nasabah
  • Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya
  • Dalam hal bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk membeli barang, maka akad Murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank
  • Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh nasabah
  • Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan tambahan selain barang yang dibiayai bank
  • Kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal akad dan tidak berubah selama periode akad
  • Angsuran pembiayaan selama periode akad harus dilakukan secara proporsional

2. Manfaat al-Murabahah
  • Adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah.
  • Sistem bai’ al-murabahah sederhana, sehingga memudahkan penanganan administrasinya di bank syariah.

3. Risiko bai’ al-murabahah
  • Default atau kelalaian: nasabah sengaja tidak membayar angsuran.
  • Fluktuasi harga komparatif. Ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual-beli tersebut.
  • Penolakan nasabah terhadap barang karena berbagai alasan.
  • Barang dijual oleh nasabah, karena setelah penandatanganan kontrak barang secara hukum telah menjadi milik nasabah.

4. Implementasi Akad Murabahah dalam Produk Perbankan Syariah
  • Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
  • Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 Jo SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
  • Lihat: PSI hal 115 – 117.

5. Syarat Bai’ as-Salam
        a. Modal transaksi Bai’ as-Salam
  • Modal harus diketahui: bahwa barang yang akan disuplai harus diketahui jenis, kualitas, dan jumlahnya. Pembayaran harus dalam bentuk uang tunai.
  • Penerimaan Pembayaran Salam: kebanyakan ulama mengharuskan pembayaran salam dilakukan di tempat kontrak.
   

    b. Al-Muslam Fiihi (Barang)
  • Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang.
  • Harus bisa diidentifikasi secara jelas.
  • Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari.
  • Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus ditunda pada suatu waktu kemudian, mazhab Syafi’I membolehkan penyerahan segera.
  • Boleh menentukan waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan barang.
  • Tempat penyerahan, bahwa pihak-pihak yang berkontrak harus menunjuk tempat yang disepakati di mana barang harus diserahkan.
  • Penggantian muslam fiihi dengan barang lain. Para ulama melarang muslam fiihi dengan barang lainnya, kecuali dalam hal spesifikasi dan kualitas yang sama, meskipun sumbernya berbeda.

6. Salam Paralel
Melaksanakan dua transaksi bai’ as-salam antara bank dan nasabah, dan antara bank dan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan. Syarat yang harus dipenuhi: Pelaksanaan transaksi salam kedua tidak bergantung pada pelaksanaan akad saham yang pertama.

7. Perbedaan salam dengan Ijon
a. Dalam ijon, barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang secara jelas dan spesifik. Demikian pula dalam penetapan harga beli, sangat bergantung kepada keputusan sepihak si tengkulak yang seringkali sangat dominan dan menekan petani yang posisinya lebih lemah.
b. Sedangkan dalam salam harus memenuhi syarat sebagai berikut:
  • Pengukuran dan spesifikasi barang yang jelas.
  • Adanya keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak.

8. Implementasi Akad Salam dalam Produk Perbankan Syariah
  • Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
  • Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 Jo SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
  • Lihat: PSI hal 117 – 119.

9. Pendapat ulama ttg Istishna’
Mazhab Hanafi: Istishna termasuk akad yang dilarang karena bertentangan dengan semangat bai’ secara qiyas. Mereka berargumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki penjual, dimana hal ini tidak dijumpai dalam istishna. Namun demikian mazhab Hanafi menyetujui istishna atas dasar istishan karena alasan-alasan sbb:
  • Masyarakat telah mempraktikan bai’ al-istishna secara luas dan terus-menerus tanpa ada keberatan sama sekali.
  • Dalam syariah dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma ulama.
  • Keberadaan bai’ al-istishna didasarkan atas kebutuhan masyarakat.
  • Bai’ al-istishna’ sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.

Sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah, oleh karena memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Kemungkinan terjadi perselisihan atas jenis dan kualitas barang dapat diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut.

10. Implementasi Akad Istishna dalam Produk Perbankan Syariah
  • Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
  • Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 Jo SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
  • Lihat: PSI hal 119 – 120.
11. Manfaat dan risiko dalam Ijarah
Bank akan mendapatkan keuntungan sewa dan kembalinya uang pokok. Nasabah akan mendapatkan manfaat atas suatu barang.


Risiko Ijarah:
  1. Default: nasabah tidak membayar cicilan dengan sengaja.
  2. Rusak: aset ijaran rusak sehingga menyebabkan pemeliharaan bertambah.
  3. Berhenti: nasabah berhenti di tengah kontrak dan tidak mau membeli aset tersebut.


Syarat2 Pembiayaan Ijarah
  1. Bank dapat membiayai pengadaaan obyek sewa berupa barang yang telah dimiliki bank atau barang yang diperoleh dengan menyewa dari pihak lain untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan
  2. Objek dan manfaat barang sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara spesifik dan dinyatakan dengan jelas termasuk pembayaran sewa dan jangka waktunya
  3. Bank wajib menyediakan barang sewa, menjamin pemenuhan kualitas maupun kuantitas barang sewa, serta ketepatan waktu penyediaan barang sewa sesuai kesepakatan
  4. Bank wajib menanggung biaya pemeliharaan barang/aset sewa yang sifatnya materiil dan struktural sesuai dengan kesepakatan
  5. Bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk mencarikan barang yang akan disewa oleh nasabah
  6. Nasabah wajib membayar sewa secara tunai, menjaga keutuhan barang sewa, dan menanggung biaya pemeliharaan barang sewa sesuai dengan kesepakatan.
  7. Nasabah tidak bertanggungjawab atas kerusakan barang sewa yang terjadi bukan karena pelanggaran perjanjian atau kelalaian nasabah.

D. Produk Pembiayaan Produktif
1) Mudharabah muthlaqah: bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. (Banyak dipakai dalam produk penghimpunan dana berupa tabungan dan deposito).

2) Mudharabah muqayyadah: bentuk kerja sama dimana mudharib dibatasi jenis usahanya, waktu, atau tempat usaha. (Banyak dipakai dalam produk penyaluran dana berupa pembiayaan)

Syarat Pembiayaan Mudharabah
  • Bank bertindak sebagai shahibul maal yang menyediakan dana secara penuh, dan nasabah bertindak sebagai mudharib yang mengelola dana dalam kegiatan usaha
  • Jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan bank dan nasabah
  • Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah tetapi memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah
  • Pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang
  • Dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai harus dinyatakan jumlahnya
  • Dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan harus dinilai berdasarkan harga perolehan atau harga pasar yang wajar

Manfaat al-mudharabah
  • Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
  • Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
  • Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang konkrit dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
  • Prinsip bagi hasil dalam al-mudharabah berbeda dengan prinsip bunga tetap, dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.


Resiko al-Mudharabah
  1. Side streaming: nasabah yang menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak.
  2. Lalai dan kesalahan yang disengaja.
  3. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.

Implementasi Akad Musyarakah dalam Produk Perbankan Syariah
  1. Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
  2. Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 Jo SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
  3. Lihat: PSI hal 138 – 140.

a) Pembiayaan Proyek: Nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana utk membiayai proyek tsb. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.

b) Modal Ventura: Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.

Syarat Pembiayaan Musyarakah
  1. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu.
  2. Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati.
  3. Bank beradasarkan kesepakatan dengan nasabah dapat menunjuk nasabah untuk mengelola usaha.
  4. Pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai/barang
  5. Dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan harus dinilai secara tunai berdasarkan kesepakatan.

Manfaat al-Musyarakah
  1. Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
  2. Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan mengalami negative spread.
  3. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
  4. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan.
  5. Prinsip bagi hasil dalam musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap di mana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

Eksistensi Jaminan
Dalam produk penyaluran dana bank syariah berupa pembiayaan berlaku prinsip bahwa semua bentuk pembiayaan dapat dimintakan jaminan oleh bank, kecuali pembiayaan mudharabah. Mudharabah tidak diperbolehkan mensyaratkan jaminan karena hakikatnya dibuat berdasarkan kepercayaan, oleh karena itu sering disebut sebagai Trust Financing. 

Kepercayaan dari shahibul maal terhadap mudharib itulah yang hakikatnya menjadi jaminan atas suksesnya suatu pembiayaan. Pada praktik perbankan syariah di Indonesia, jaminan (collateral) atas pembiayaan mudharabah merupakan suatu keniscayaan. Argumentasi hukum yang dapat diberikan adalah karena bank adalah lembaga keuangan yang harus menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian (prudential principle). Di samping itu karena untuk kondisi saat ini, khususnya dalam kontek perbankan jumlah mudharib-nya banyak sehingga nasabah deposan yang mempercayakan dananya dalam suatu bank tidak mengenal karakter dari mudharib. Dengan demikian pada dasarnya keberadaan jaminan adalah dalam rangka lebih menjamin pembayaran/pemenuhan kewajiban Nasabah dengan tertib dan secara sebagaimana mestinya oleh Nasabah kepada Bank. Biasanya pengikatan barang jaminan sebagai agunan akan dibuat dalam suatu akta/akad tersendiri sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

E. Produk Perbankan Syariah Di Bidang Jasa
1. Hiwalah
Hiwalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Atau pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang yang berkewajiban membayar utang). Dasar hukum:  “Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Dan, jika salah seorang dari kamu diikutkan (di-hiwalah-kan) kepada orang yang mampu/kaya, terimalah hiwalah itu.” (H.R Bukhari dan Muslim). Fatwa DSN-MUI no: 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hiwalah, menyebutkan bahwa ketentuan umum akad hiwalah adalah:
  • Rukun hiwalah adalah muhil, yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang kepada muhil, muhal alaih, yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal, muhal bih, yakni hutang muhil kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul).
  • Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
  • Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
  • Hiwalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal dan muhal ‘alaih.
  • Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
  • Jika transaksi hiwalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhal dan muhal ‘alaih; dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
Manfaat dan Risiko Hiwalah
a. Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan.
b. Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan.
c. Dapat menjadi salah satu fee based income bagi bank syariah.

Risiko: adanya kecurangan nasabah dengan memberi invoice palsu atau wanprestasi untuk memenuhi kewajiban hawalah ke bank. Implementasi Akad Hiwalah dalam Produk Perbankan Syariah
a. Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
b. Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 Jo SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
c. Lihat: PSI hal 157 – 158.
Kafalah
Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.  Kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Dasar hukum kafalah dapat dijumpai dalam Q.S Yusuf: 72 Fatwa DSN-MUI no: 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah, menyebutkan bahwa ketentuan umum dari kafalah adalah:
  • Pernyatan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad)
  • Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan
  • Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak Implementasi akad kafalah dalam Perbankan Syariah adalah dalam produk Bank Garansi

Implementasi Akad Kafalah dalam Produk Perbankan Syariah
a. Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
b. Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 Jo SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
c. Lihat: PSI hal 162.

Wakalah
Akad pemberian kuasa dari satu orang kepada orang lain untuk bertindak  melakukan suatu urusan untuk dan atas nama pihak pemberi kuasa Ketentuan tentang Wakalah dlm  Fatwa DSN-MUI no: 10/DSN-MUI/IV/2000, adalah sbb:
a. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
b. Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak .
Implementasi Akad Wakalah  dalam Perbankan Syariah sebagai produk mandiri,akad wakalah dapat diimplementasikan dalam Kliring, Inkaso, L/C, Sedangkan sebagai produk pelengkap, wakalah biasanya juga diterapkan pada akad pembiayaan murabahah. Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Rahn diatur dalam Fatwa DSN-MUI no: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn. Pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan setelah memenuhi persyaratan tertentu, yaitu:

Ketentuan akad Rahn
a. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua hutang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
b. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin ,dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
c. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.
d. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
e. Penjualan Marhun
  • Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi hutangnya.
  • Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka Marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
  • Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penujualan.
  • Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.
Aplikasi Rahin dalam Perbankan
  1. Sebagai Produk Pelengkap, artinya sebagai akad tambahan (jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’ al murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut.
  2. Sebagai Produk Tersendiri, artinya sebagai alternatif dari pegadaian konvensional. Oleh karena itu tidak mendasarkan bunga, namun nasabah dikenakan biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran.
Manfaat ar-Rahn
  1. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.
  2. Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji, karena ada suatu aset yang dipegang oleh bank.
  3. Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, maka akan dapat membantu masyarakat yang kesulitan dana.
Risiko ar-Rahn
  1. Risiko tak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi)
  2. Risiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan 
Dari uraian kita sepakati bersama bahwa perbankan islam adalah lembaga keuangan yang menjalankan aktivitas perbankan konvensional murni yang tidak sama sekali ada kaitannya dengan kegiatan keagamaan yang akan menimbulkan kontradiksi apabila terjadi sebuah kesalahan, maka agama islam termasuk di dalamnya umat islam itu akan tersalahkan. Namun dalam kegiatannnya perbankan islam tidak boleh menyimpang dari landasan dan prinsip-prinsip islam itu sendiri, karena timbulnya perbankan islam adalah untuk menyempurnakan dari sistem sosialis dan konvensional. Yang bukan saja berorientasi pada profitabilitas tapi juga bagaimana perbankan islam itu sendiri mengedepankan etika dan moral dalam berbisnis di dunia perbankan yang dapat menciptakan sebuah kegiatan perbankan yang efisien dan efektip (bebas dari Riba, Gharar, Maysir, dll) sehingga dapat berimplikasi pada pembangunan ekonomi, kesejahteraan rakyat, menciptakan pasar ekonomi yang sehat dan menghilangkan paradigma dzalim.
Maka tugas kita selaku akademisi adalah bagai mana kita mengembangkan dan menerapkan kegiatan perbankan islam pada masyarakat dunia, sehingga tidak ada kata alergi ketika masyarakat mendengar istilah – istilah kegiatan perbankan islam. Harapan kita bahwa sudah cukup sampai disini saja kegiatan dunia bisnis baik yang basis finansial, Investasi, perbankan, real, pasar modal, pasar barang dll. Yang hanya menguntungkan sebagian pihak dan dipihak lain tertidas. Mari kita jadikan Perbankan islam sebagai sarana untuk menciptakan dunia bisnis baru yang bernafaskan positif yang dapat memberikan kesejahteraan bagi semua.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Ma’ruf, Dr, H, 2006, Hukum Perbankan dan perkembangan Bank Syariah di Indonesia, Banjarmasin; Antasari Press.
Abdurrahman, Dr, H, MA, 2008, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, pedoman Hakim Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, Makalah Jakarta:, Mahkamah Agung RI
Antonio, Muhammad Syafi’I, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: gema Insani.
Ascarya, 2008, Akad dan Produk Bank Syariah, jakarta: PT. raja Grafindo
Persada 
Muhamamd, 2004, Manajemen Dana Bank Syariah, Yogyakarta: Ekonisia, 
Muhammad, 2000, Sistem dan Prosedur dan Operasional Bank Syari'ah, Yogyakarta: UII Press, 
Sudarsono,Heri 2005, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan
Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisia.



No comments:

Post a Comment