BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-undang Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.
10 Tahun 1998 membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu
bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Fungsi Bank Syariah
secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni sebagai
lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari
masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang
membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak
dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang
dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan
bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa
jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil
(loss and profit sharing).
Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi
dari mekanisme bunga (interest free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah
dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank Syariah
melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan
(trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar transaksi Bank Syariah yang
merupakan investasi dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan
pembiayaan yang dapat dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip
murabahah (jual beli), ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan
lain-lain.
B.
Perumusan Masalah
dari
latar belakang tersebut maka perumusan masalah ada 3:
1. Apa saja akad dasar perbankan
syariah?
2. Apa saja produk produk dari
perbankan syariah?
3. Apa saja manfaat dari produk produk
syariah tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Produk Perbankan Syariah
Lima
Akad Dasar Transaksi Syari’ah :
1.
TITIPAN (WADIAH)
2.
BAGI HASIL (SYIRKAH)
3.
JUAL-BELI (TIJAROH)
4.
SEWA (IJARAH)
5.
JASA/FEE( AL AJR WALUMULLAH)
B. Produk Penghimpunan Dana (Funding)
Bentuk-bentuk
Produk Funding
1.
Giro: Giro Wadiah dan Giro Mudharabah
2.
Tabungan: Tabungan Wadiah dan Tabungan Mudharabah.
3.
Deposito: Deposito Mudharabah.
Teknis
Operasional mendasarkan pada:
- PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang
Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan
Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, sebagaimana yang telah
diubah dengan PBI No. 10/16/PBI/2008.
- Surat Edaran Bank Indonesia
(SEBI) No. 10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
- Al-Wadiah
Al-Wadiah
dibedakan menjadi 2 macam:
- Wadiah yad amanah, adalah
titipan dari pihak nasabah, dimana bank selaku penerima titipan tidak
boleh menggunakan sesuatu yg dititipkan tsb. Akad ini dipakai dalam
produk Safe Deposit Box (SDB).
- Wadiah adh-dhamanah, adalah
titipan dari pihak nasabah, dimana bank selaku penerima titipan
diperkenankan menggunakan dana yang dititipkan. Akad ini dipakai dalam
produk giro wadiah maupun tabungan wadiah. Sehingga bank biasanya akan
memberikan bonus kepada nasabah penyimpan yg besarnya sesuai dengan
kebijakan bank dan tidak boleh diperjanjikan.
Wadiah yad Amanah :
Adalah
titipan murni dari satu pihak kepada pihak lain, baik individu maupun badan
hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kepada si penitip kapan saja si
penitip menghendaki.
Landasan
: QS. An-Nisa : 58; QS. Al. Baqarah : 283
Al-Mudharabah
Akad
kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal
(100%), sedang pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan usaha mudharabah dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, kerugian ditanggung oleh
pemodal selama kerugian tidak akibat kelalaian pengelola
Landasan
Al-Qur’an :
1.
QS. Muzamil : 20;
2.
Al-Jum’ah : 10;
3.
Al-Baqarah : 198
Jenis
Mudharabah :
1.
Mudharabah Mutlaqah (tanpa syarat)
2.
Mudharabah Muqayyadah (dengan syarat)
Aplikasi
pada perbankan :
1.
Sisi Funding
- Giro
- Tabungan berjangka
2.
Deposito biasa
3.
Deposito special
Sisi
Pembiayaan :
1.
Pembiayaan modal kerja
2.
Investasi khusus
Penjelasan Jenis Akad Mudharabah
Mudharabah
Muthlaqah adl bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yg cakupannya
sangat luas dan tidak dibatasi oleh jenis usaha, waktu, dan daerah
bisnis.(Jenis Mudharabah Muthlaqah inilah yang biasanya dipakai oleh bank dlm
skim penghimpunan dana melalui, giro, tabungan maupun deposito). Mudharabah
Muqayyadah, adl btk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya
terbatas baik jenis usaha maupun waktunya.(Jenis Mudharabah Muqayyadah inilah
yang biasanya dipakai oleh bank dlm kegiatan penyaluran dana melalui pembiayaan
mudharabah)
C. Produk Pembiayaan Konsumtif
1.
Syarat2 Pembiayaan Murabahah
- Bank menyediakan dana
pembiayaan berdasarkan perjanjian berdasarkan jual beli barang
- Jangka waktu pembayaran harga
barang oleh nasabah kepada bank ditentukan berdasarkan kesepakatan bank
dan nasabah
- Bank dapat membiayai sebagian
atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya
- Dalam hal bank mewakilkan
kepada nasabah (wakalah) untuk membeli barang, maka akad Murabahah harus
dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank
- Bank dapat meminta nasabah
untuk membayar uang muka atau urbun saat menandatangani kesepakatan awal
pemesanan barang oleh nasabah
- Bank dapat meminta nasabah
untuk menyediakan agunan tambahan selain barang yang dibiayai bank
- Kesepakatan marjin harus
ditentukan satu kali pada awal akad dan tidak berubah selama periode akad
- Angsuran pembiayaan selama
periode akad harus dilakukan secara proporsional
2.
Manfaat
al-Murabahah
- Adanya keuntungan yang muncul
dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah.
- Sistem bai’ al-murabahah
sederhana, sehingga memudahkan penanganan administrasinya di bank syariah.
3.
Risiko
bai’ al-murabahah
- Default atau kelalaian: nasabah
sengaja tidak membayar angsuran.
- Fluktuasi harga komparatif. Ini
terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya
untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual-beli tersebut.
- Penolakan nasabah terhadap
barang karena berbagai alasan.
- Barang dijual oleh nasabah,
karena setelah penandatanganan kontrak barang secara hukum telah menjadi
milik nasabah.
4.
Implementasi Akad Murabahah dalam Produk Perbankan Syariah
- Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
- Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007
Jo SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
- Lihat: PSI hal 115 – 117.
5.
Syarat
Bai’ as-Salam
a. Modal transaksi Bai’ as-Salam
- Modal harus diketahui: bahwa
barang yang akan disuplai harus diketahui jenis, kualitas, dan jumlahnya.
Pembayaran harus dalam bentuk uang tunai.
- Penerimaan Pembayaran Salam:
kebanyakan ulama mengharuskan pembayaran salam dilakukan di tempat
kontrak.
b. Al-Muslam Fiihi (Barang)
- Harus spesifik dan dapat diakui
sebagai utang.
- Harus bisa diidentifikasi
secara jelas.
- Penyerahan barang dilakukan di
kemudian hari.
- Kebanyakan ulama mensyaratkan
penyerahan barang harus ditunda pada suatu waktu kemudian, mazhab Syafi’I
membolehkan penyerahan segera.
- Boleh menentukan waktu di masa
yang akan datang untuk penyerahan barang.
- Tempat penyerahan, bahwa
pihak-pihak yang berkontrak harus menunjuk tempat yang disepakati di mana
barang harus diserahkan.
- Penggantian muslam fiihi dengan
barang lain. Para ulama melarang muslam fiihi dengan barang lainnya,
kecuali dalam hal spesifikasi dan kualitas yang sama, meskipun sumbernya
berbeda.
6.
Salam Paralel
Melaksanakan
dua transaksi bai’ as-salam antara bank dan nasabah, dan antara bank dan
pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan. Syarat yang harus
dipenuhi: Pelaksanaan transaksi salam kedua tidak bergantung pada pelaksanaan
akad saham yang pertama.
7.
Perbedaan salam dengan Ijon
a.
Dalam ijon, barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang secara jelas dan
spesifik. Demikian pula dalam penetapan harga beli, sangat bergantung kepada
keputusan sepihak si tengkulak yang seringkali sangat dominan dan menekan
petani yang posisinya lebih lemah.
b.
Sedangkan dalam salam harus memenuhi syarat sebagai berikut:
- Pengukuran dan spesifikasi
barang yang jelas.
- Adanya keridhaan yang utuh
antara kedua belah pihak.
8.
Implementasi
Akad Salam dalam Produk Perbankan Syariah
- Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
- Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007
Jo SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
- Lihat: PSI hal 117 – 119.
9.
Pendapat ulama ttg Istishna’
Mazhab
Hanafi: Istishna termasuk akad yang dilarang karena bertentangan dengan
semangat bai’ secara qiyas. Mereka berargumentasi bahwa pokok kontrak penjualan
harus ada dan dimiliki penjual, dimana hal ini tidak dijumpai dalam istishna.
Namun
demikian mazhab Hanafi
menyetujui istishna atas dasar istishan karena alasan-alasan sbb:
- Masyarakat telah mempraktikan
bai’ al-istishna secara luas dan terus-menerus tanpa ada keberatan sama
sekali.
- Dalam syariah dimungkinkan
adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma ulama.
- Keberadaan bai’ al-istishna
didasarkan atas kebutuhan masyarakat.
- Bai’ al-istishna’ sah sesuai
dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan
dengan nash atau aturan syariah.
Sebagian
fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ adalah sah atas dasar
qiyas dan aturan umum syariah, oleh karena memang jual beli biasa dan si
penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Kemungkinan
terjadi perselisihan atas jenis dan kualitas barang dapat diminimalkan dengan
pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang
tersebut.
10.
Implementasi Akad Istishna dalam Produk Perbankan Syariah
- Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
- Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007
Jo SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
- Lihat: PSI hal 119 – 120.
11.
Manfaat dan risiko dalam Ijarah
Bank
akan mendapatkan keuntungan sewa dan kembalinya uang pokok. Nasabah akan
mendapatkan manfaat atas suatu barang.
Risiko
Ijarah:
- Default: nasabah tidak membayar
cicilan dengan sengaja.
- Rusak: aset ijaran rusak
sehingga menyebabkan pemeliharaan bertambah.
- Berhenti: nasabah berhenti di
tengah kontrak dan tidak mau membeli aset tersebut.
Syarat2
Pembiayaan Ijarah
- Bank dapat membiayai pengadaaan
obyek sewa berupa barang yang telah dimiliki bank atau barang yang
diperoleh dengan menyewa dari pihak lain untuk kepentingan nasabah
berdasarkan kesepakatan
- Objek dan manfaat barang sewa
harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara spesifik dan dinyatakan
dengan jelas termasuk pembayaran sewa dan jangka waktunya
- Bank wajib menyediakan barang
sewa, menjamin pemenuhan kualitas maupun kuantitas barang sewa, serta
ketepatan waktu penyediaan barang sewa sesuai kesepakatan
- Bank wajib menanggung biaya
pemeliharaan barang/aset sewa yang sifatnya materiil dan struktural sesuai
dengan kesepakatan
- Bank dapat mewakilkan kepada
nasabah untuk mencarikan barang yang akan disewa oleh nasabah
- Nasabah wajib membayar sewa
secara tunai, menjaga keutuhan barang sewa, dan menanggung biaya
pemeliharaan barang sewa sesuai dengan kesepakatan.
- Nasabah tidak bertanggungjawab
atas kerusakan barang sewa yang terjadi bukan karena pelanggaran
perjanjian atau kelalaian nasabah.
D. Produk Pembiayaan Produktif
1)
Mudharabah muthlaqah: bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang
cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu,
dan daerah bisnis. (Banyak dipakai dalam produk penghimpunan dana berupa
tabungan dan deposito).
2)
Mudharabah muqayyadah: bentuk kerja sama dimana mudharib dibatasi jenis
usahanya, waktu, atau tempat usaha. (Banyak dipakai dalam produk penyaluran
dana berupa pembiayaan)
Syarat
Pembiayaan Mudharabah
- Bank bertindak sebagai shahibul
maal yang menyediakan dana secara penuh, dan nasabah bertindak sebagai
mudharib yang mengelola dana dalam kegiatan usaha
- Jangka waktu pembiayaan,
pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan
kesepakatan bank dan nasabah
- Bank tidak ikut serta dalam
pengelolaan usaha nasabah tetapi memiliki hak dalam pengawasan dan
pembinaan usaha nasabah
- Pembiayaan diberikan dalam
bentuk tunai dan/atau barang
- Dalam hal pembiayaan diberikan
dalam bentuk tunai harus dinyatakan jumlahnya
- Dalam hal pembiayaan diberikan
dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan harus dinilai berdasarkan
harga perolehan atau harga pasar yang wajar
Manfaat
al-mudharabah
- Bank akan menikmati peningkatan
bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
- Pengembalian pokok pembiayaan
disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah sehingga tidak
memberatkan nasabah.
- Bank akan lebih selektif dan
hati-hati mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan
karena keuntungan yang konkrit dan benar-benar terjadi itulah yang akan
dibagikan.
- Prinsip bagi hasil dalam
al-mudharabah berbeda dengan prinsip bunga tetap, dimana bank akan menagih
penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan
yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
Resiko
al-Mudharabah
- Side streaming: nasabah yang
menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak.
- Lalai dan kesalahan yang
disengaja.
- Penyembunyian keuntungan oleh
nasabah bila nasabahnya tidak jujur.
Implementasi
Akad Musyarakah dalam Produk Perbankan Syariah
- Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
- Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007
Jo SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
- Lihat: PSI hal 138 – 140.
a)
Pembiayaan Proyek: Nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana utk membiayai
proyek tsb. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama
bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
b)
Modal Ventura: Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan
setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara
singkat maupun bertahap.
Syarat
Pembiayaan Musyarakah
- Bank dan nasabah masing-masing
bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana
dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu.
- Nasabah bertindak sebagai
pengelola usaha dan Bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan
usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati.
- Bank beradasarkan kesepakatan
dengan nasabah dapat menunjuk nasabah untuk mengelola usaha.
- Pembiayaan diberikan dalam
bentuk tunai/barang
- Dalam hal pembiayaan diberikan
dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan harus dinilai secara
tunai berdasarkan kesepakatan.
Manfaat
al-Musyarakah
- Bank akan menikmati peningkatan
dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
- Bank tidak berkewajiban
membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap,
tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank tidak
akan mengalami negative spread.
- Pengembalian pokok pembiayaan
disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah, sehingga tidak
memberatkan nasabah.
- Bank akan lebih selektif dan
hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan
menguntungkan.
- Prinsip bagi hasil dalam
musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap di mana bank akan
menagih penerima pembiayaan (nasabah) bunga tetap berapapun keuntungan
yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis
ekonomi.
Eksistensi
Jaminan
Dalam
produk penyaluran dana bank syariah berupa pembiayaan berlaku prinsip bahwa
semua bentuk pembiayaan dapat dimintakan jaminan oleh bank, kecuali pembiayaan
mudharabah. Mudharabah tidak diperbolehkan mensyaratkan jaminan karena
hakikatnya dibuat berdasarkan kepercayaan, oleh karena itu sering disebut
sebagai Trust Financing.
Kepercayaan
dari shahibul maal terhadap mudharib itulah yang hakikatnya menjadi jaminan
atas suksesnya suatu pembiayaan. Pada praktik perbankan syariah di Indonesia,
jaminan (collateral) atas pembiayaan mudharabah merupakan suatu keniscayaan.
Argumentasi hukum yang dapat diberikan adalah karena bank adalah lembaga
keuangan yang harus menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian (prudential
principle). Di samping itu karena untuk kondisi saat ini, khususnya dalam
kontek perbankan jumlah mudharib-nya banyak sehingga nasabah deposan yang
mempercayakan dananya dalam suatu bank tidak mengenal karakter dari mudharib.
Dengan demikian pada dasarnya keberadaan jaminan adalah dalam rangka lebih
menjamin pembayaran/pemenuhan kewajiban Nasabah dengan tertib dan secara
sebagaimana mestinya oleh Nasabah kepada Bank. Biasanya pengikatan barang
jaminan sebagai agunan akan dibuat dalam suatu akta/akad tersendiri sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
E. Produk Perbankan Syariah Di Bidang Jasa
1.
Hiwalah
Hiwalah
adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya. Atau pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang)
menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang yang berkewajiban membayar utang). Dasar
hukum: “Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman.
Dan, jika salah seorang dari kamu diikutkan (di-hiwalah-kan) kepada orang yang
mampu/kaya, terimalah hiwalah itu.” (H.R Bukhari dan Muslim). Fatwa DSN-MUI no:
12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hiwalah, menyebutkan bahwa ketentuan umum akad
hiwalah adalah:
- Rukun hiwalah adalah muhil,
yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal,
yakni orang berpiutang kepada muhil, muhal alaih, yakni orang yang
berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal, muhal bih,
yakni hutang muhil kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul).
- Pernyataan ijab dan qabul harus
dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam
mengadakan kontrak (akad).
- Akad dituangkan secara
tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi
modern.
- Hiwalah dilakukan harus dengan
persetujuan muhil, muhal/muhtal dan muhal ‘alaih.
- Kedudukan dan kewajiban para
pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
- Jika transaksi hiwalah telah
dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhal dan muhal ‘alaih; dan
hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
Manfaat
dan Risiko Hiwalah
a.
Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan.
b.
Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan.
c.
Dapat menjadi salah satu fee based income bagi bank syariah.
Risiko:
adanya kecurangan nasabah dengan memberi invoice palsu atau wanprestasi untuk
memenuhi kewajiban hawalah ke bank. Implementasi Akad Hiwalah dalam Produk
Perbankan Syariah
a.
Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
b.
Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 Jo SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
c.
Lihat: PSI hal 157 – 158.
Kafalah
Al-kafalah
merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Kafalah juga
berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada
tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Dasar hukum kafalah dapat dijumpai
dalam Q.S Yusuf: 72 Fatwa DSN-MUI no: 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah,
menyebutkan bahwa ketentuan umum dari kafalah adalah:
- Pernyatan ijab dan qabul harus
dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam
mengadakan kontrak (akad)
- Dalam akad kafalah, penjamin
dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan
- Kafalah dengan imbalan bersifat
mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak Implementasi akad
kafalah dalam Perbankan Syariah adalah dalam produk Bank Garansi
Implementasi
Akad Kafalah dalam Produk Perbankan Syariah
a.
Pasal 19 – 21 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
b.
Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 Jo SEBI No. 10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008.
c.
Lihat: PSI hal 162.
Wakalah
Akad
pemberian kuasa dari satu orang kepada orang lain untuk bertindak
melakukan suatu urusan untuk dan atas nama pihak pemberi kuasa Ketentuan
tentang Wakalah dlm Fatwa DSN-MUI no: 10/DSN-MUI/IV/2000, adalah sbb:
a.
Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
b.
Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara
sepihak .
Implementasi
Akad Wakalah dalam Perbankan Syariah sebagai produk mandiri,akad wakalah
dapat diimplementasikan dalam Kliring, Inkaso, L/C, Sedangkan sebagai produk pelengkap,
wakalah biasanya juga diterapkan pada akad pembiayaan murabahah. Rahn adalah
menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya. Rahn diatur dalam Fatwa DSN-MUI no: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang
Rahn. Pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk
rahn dibolehkan setelah memenuhi persyaratan tertentu, yaitu:
Ketentuan
akad Rahn
a.
Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai
semua hutang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
b.
Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak
boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin ,dengan tidak mengurangi
nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan
perawatannya.
c.
Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin,
namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan
penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.
d.
Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
e.
Penjualan
Marhun
- Apabila jatuh tempo, Murtahin
harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi hutangnya.
- Apabila Rahin tetap tidak dapat
melunasi hutangnya, maka Marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang
sesuai syariah.
- Hasil penjualan Marhun
digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang
belum dibayar serta biaya penujualan.
- Kelebihan hasil penjualan
menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.
Aplikasi
Rahin dalam Perbankan
- Sebagai Produk Pelengkap,
artinya sebagai akad tambahan (jaminan/collateral) terhadap produk lain
seperti dalam pembiayaan bai’ al murabahah. Bank dapat menahan barang
nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut.
- Sebagai Produk Tersendiri,
artinya sebagai alternatif dari pegadaian konvensional. Oleh karena itu
tidak mendasarkan bunga, namun nasabah dikenakan biaya penitipan,
pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran.
Manfaat
ar-Rahn
- Menjaga kemungkinan nasabah
untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan
bank.
- Memberikan keamanan bagi semua
penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja
jika nasabah peminjam ingkar janji, karena ada suatu aset yang dipegang
oleh bank.
- Jika rahn diterapkan dalam
mekanisme pegadaian, maka akan dapat membantu masyarakat yang kesulitan
dana.
Risiko
ar-Rahn
- Risiko tak terbayarnya utang
nasabah (wanprestasi)
- Risiko penurunan nilai aset
yang ditahan atau rusak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian kita sepakati bersama bahwa perbankan islam
adalah lembaga keuangan yang menjalankan aktivitas perbankan konvensional murni
yang tidak sama sekali ada kaitannya dengan kegiatan keagamaan yang akan
menimbulkan kontradiksi apabila terjadi sebuah kesalahan, maka agama islam
termasuk di dalamnya umat islam itu akan tersalahkan. Namun dalam kegiatannnya
perbankan islam tidak boleh menyimpang dari landasan dan prinsip-prinsip islam
itu sendiri, karena timbulnya perbankan islam adalah untuk menyempurnakan dari
sistem sosialis dan konvensional. Yang bukan saja berorientasi pada
profitabilitas tapi juga bagaimana perbankan islam itu sendiri mengedepankan
etika dan moral dalam berbisnis di dunia perbankan yang dapat menciptakan
sebuah kegiatan perbankan yang efisien dan efektip (bebas dari Riba, Gharar,
Maysir, dll) sehingga dapat berimplikasi pada pembangunan ekonomi,
kesejahteraan rakyat, menciptakan pasar ekonomi yang sehat dan menghilangkan
paradigma dzalim.
Maka tugas kita selaku akademisi adalah bagai mana kita
mengembangkan dan menerapkan kegiatan perbankan islam pada masyarakat dunia,
sehingga tidak ada kata alergi ketika masyarakat mendengar istilah – istilah
kegiatan perbankan islam. Harapan kita bahwa sudah cukup sampai disini saja kegiatan
dunia bisnis baik yang basis finansial, Investasi, perbankan, real, pasar
modal, pasar barang dll. Yang hanya menguntungkan sebagian pihak dan dipihak
lain tertidas. Mari kita jadikan Perbankan islam sebagai sarana untuk
menciptakan dunia bisnis baru yang bernafaskan positif yang dapat memberikan
kesejahteraan bagi semua.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Ma’ruf, Dr, H, 2006,
Hukum Perbankan dan perkembangan Bank Syariah di Indonesia, Banjarmasin;
Antasari Press.
Abdurrahman, Dr, H, MA, 2008,
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, pedoman Hakim Agama dalam menyelesaikan
sengketa ekonomi syari’ah, Makalah Jakarta:, Mahkamah Agung RI
Antonio, Muhammad Syafi’I, 2001,
Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: gema Insani.
Ascarya, 2008, Akad dan Produk Bank
Syariah, jakarta: PT. raja Grafindo
Persada
Muhamamd,
2004, Manajemen Dana Bank Syariah, Yogyakarta: Ekonisia,
Muhammad, 2000, Sistem dan Prosedur
dan Operasional Bank Syari'ah, Yogyakarta: UII Press,
Sudarsono,Heri 2005, Bank dan
Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan
Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisia.
No comments:
Post a Comment