A.
Pengertian Iman, Islam, dan Ihsan
Menurut sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah
bin Umar diceritakan bahwa pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah
SAW, yang kemudian ternyata orang itu adalah malaikat Jibril, menanyakan
tentang arti Iman, Islam dan Ihsan. Dan dalam dialog antara
Rasulullah SAW dengan malaikat Jibril itu, Rasulullah SAW memberikan pengertian
tentang Iman, Islam dan Ihsan tersebut sebagai berikut:
اَلْآيْمَانُ : اَنْ تُؤْمِنَ بِااللهِ
وَمَلاَئِكَتِهِ وَ كُتُبِهِ وَ رُسُوْلِهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ وَتُؤْمِنَ
بِالْقَدَرِخَيْرِهِ وَشَرِّهِ
اَلْاِسْلَامُ : اَنْ تَشْهَدَ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَاَنَّ
مُحَمَّدًارَسُوْلُ اللهِ وَ تُقِيْمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ وَتَصُوْمَ
رَمَضَانَ تَخُجَّ الْبَيْتَ اِنِ ا سْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلًا
اَلْاِحْسَانُ : اَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَاَنَّكَ تَرَاهُ
فَاِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَاِنَّهُ يَرَاكَ
Iman : Engkau beriman kepada Allah,
Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan Hari Akhirat
seerta engkau beriman kepada kadar (ketentuan Tuhan) baik dan buruk.
Islam : Engkau menyaksikan bahwa
sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah,
engkau mendirikan shalat, mengeluarkan
zakat, p uasa Ramadhan dan engkau pergi haji ke Baitullah jika engkau mampu
pergi kesana.
Ihsan : Engkau menyembah Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya, tetapi jika engkau tidak meluhat-Nya yakinlah
bahwa Dia selalu melihat engkau.[1][2]
Jika dilihat lebih jauh tentang
pengertian Iman, Islam dan Ihsan baik dilihat dari sudut etimologi
maupun terminologi dapat diperoleh beberapa penjelasan sebagai berikut:
a.
Iman
Kata Iman (bahasa arab) adalah bentuk
masdardari kata kerja (fi’il)
اَمَنَ , يُؤْمِنُ , اِيْمَاناً
Dalam bahasa Indonesia kata Iman
biasanya diartikan dengan kepercayaan atau keyakinan.
Dilihat dari pengertian istilah, Iman
itu paling tidak mengharuskan adanya pembenaran keyakinan akan adanya Tuhan
dengan segala keesaan-Nya dan segala sifat kesempurnaan-Nya serta pembenaran
dan keyakinan terhadap Muhammad Rasulullah dan risalah kerasulan yang ia bawa.[2][3]
b.
Islam
Dilihat dari asal katanya, Islam
(bahasa arab) adalah bentuk masdar dari kata kerja (fi’il) :
اَسْلَمَ
، يُسْلِمُ ، اِسْلاَ مًا
Di dalam Da’irah al-Ma’arif
al-Islamiyah dikatakan :
اَلْاِسْلَامُ
، اَلْخُضُوْعُ وَالْاِسْتِسْلَامُ
“Islam berarti tunduk dan
menyerah/penyerahan diri”.
Dilihat dari istilah Islam ialah tunduk
dan taat, yakni tunduk dan taat kepada
perintah Allah dan kepada larangan-Nya. Perintah dan larangan itu tertuang
dalam ajaran Islam, oleh karena itu hanya mereka yang tunduk dan taat kepada
ajaran Islam yang akan mendapat keselamatan dan kedamaian hidup di dunia dan
akhirat.
Sebagai agama, Islam merupakan
kepasrahan dan penyerahan diri secara total kepada Allah SWT. Ajaran agama
Islam memerintahkan taat kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
c.
Ihsan
Kata Ihsan (bahasa arab) berasal dari
kata kerja (fi’il)
اَحْسَنَ ، يُحْسِنُ ، اِحْسَانًا artinya فِعْلُ اَلْحَسَنِ (perbuatan baik).
K.H. Moenawar Chalil
mengatakan, Ihsan ialah
“berbuat baik atau perbuatan baik”. Asfahani, sebagaimana dikutip oleh Moenawar Chalil,
mengatakan bahwa Ihsan itu dapat
diartikan dalam dua arti, yaitu:
1.
Memberi kenikmatan (kebaikan) kepada orang
lain.
2.
Mengetahui
dengan baik akan sesuatu pengetahuan dan mengerjakan dengan baik akan sesuatu
pekerjaan.
Jadi Ihsan dapat dikatakan sebagai puncak kesempurnaan
dari Iman dan Islam. Orang yang telah sempurna keimanan dan keislamannya akan
mencapai suatu keadaan dimana ia dapat melakukan ibadah kepada Allah
seakan-akan melihat Allahdan bila tidak dapat demikian, ia akan selalu diawasi
oleh Allah. Ihsan dapat menimbulkan amal saleh dan menjauhkan orang dari
perbuatan-perbuatan buruk. Imam al-Nawawi menegaskan bahwa ihsan itu merupakan jawami’ul
kalim, yaitu suatu ungkapan yang mencakup tujuan dari hakikat Iman dan
Islam.
B. Hubungan
Akhlak dengan Iman, Islam dan Ihsan
1.
Hubungan Akhlak dengan Iman
Iman ialah mengetahui dan meyakini akan
keesaan Tuhan, mempercayai adanya malaikat, mengimani adanya kitab-kitab yang
diturunkan oleh Allah, iman kepada para Rasul, iman kepada hari akhir dan iman
kepada qada dan qadar. Untuk rukun iman yang pertama bahwa mengetahui dan
meyakini akan keesaan Allah dengan mempercayai bahwa Allah memiliki sifat-sifat
ynag mulia. Untuk itu manusia hendaknya meniru sifat-sifat Tuhan itu, yakni
Allah SWT. Misalnya bersifat Al-Rahman dan Al-Rahim (Maha pengasih dan Maha
Penyayang), maka sebaiknya manusia meniru sifat tersebut dengan mengembangkan
sikap kasih sayang di muka bumi. Demikian juga jika Allah bersifat dengan
Asma’ul Husna itu harus dipraktekkan dalam kehidupan. Dengan cara demikian iman
kepada Allah akan memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak yang mulia.[3][4]
Demikian juga jika seseorang beriman
kepada para malaikat, maka yang dimaksudkan antara lain adalah agar manusia
meniru sift-sifat yang terdapat pada malaikat, seperti sifat jujur, amanah,
tidak pernah durhaka dan patuh melaksanakan segala yang diperintahkan Tuhan.
Hal ini juga dimaksudkan agar manusia merasa diperhatikan dan diawasi oleh para
malaikat, sehingga ia tidak berani melanggar larangan Tuhan.
Demikian pula beriman kepada
kitab-kitab yang diturunkan Tuhan , khususnya Al-Qur’an, maka dengan mengikuti
segala perintah yang ada dalam Al-Qur’an dan menjauhi apa yang dilarangnya.
Dengan kata lain beriman kepada kitab-kitab, khususnya Al-Qur’an harus disertai
dengan berakhlak dengan akhlak Al-Qur’an seperti halnya dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW.
Selanjutnya beriman kepada para rasul,
khususnya kepada Nabi Muhammad SAW. juga harus disertai upaya mencontoh akhlak
Rasulullah di dalam Al-Qur’an dinyatakan oleh Allah bahwa nabi Muhammad SAW itu
berakhlak mulia.
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (٤)
Artinya: “seseungguhnya
engkau Muhammad benar-benar berbudi pekerti mulia.” (Q. S. Al-Qalam: 4)
Demikian pula beriman kepada hari
akhir, dari sisi akhlaki harus disertai dengan upaya menyadari bahwa segala
amal perbuatan yang dilkaukan selama di dunia ini akan dimintakan pertanggung
jawabannya di akhirat nanti. Amal perbuatan manusia selama di dunia akan
ditimbang dan dihitungb serta diputuskan dengan seadilnya. Mereka yang amalnya
lebih banyak yang buruk dan ingkar kepada Tuhan akan dimasukkan ke dalam
neraka, sedangkan mereka yang amalnya lebih banyak yang biak akan dimasukkan ke
dalam syurga. Hal tersebut diharapkan dapat memotivasi seseorang agar selama
hidupnya di dunia ini banyak melakukan amal yang baik, menjauhi perbuatan dosa
dan ingkar kepada Allah.
Selanjtnya beriman kepada qada dan
qadar juga erat kaitannya dengan akhlak, yaitu agar orang yang percaya kepada
qada dan qadar itu seanantiasa mau bersyukur terhadap keputusan Tuhan dan rela
menerima segala keputusan-Nya. Perbuatan demikian termasuk ke dalam akhlak yang
mulia.[4][5]
2.
Hubungan Akhlak dengan Islam
Dalam keseluruhan ajaran Islam akhlak
menempati kedudukan yang sangat penting. Hal itu dapat dilihat dalam beberapa
hal berikut:
a. Nabi Muhammad
SAW diutus menjadi Rasul dengan maksud utama untuk membina dan menyempurnakan akhlak, sebagaimana dinyatakan
dalam hadits,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ
مَكَارِمَ اْلأَخْلَاقِ (رواه أحمد)
Artinya:
“bahwasanya aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak (Budi
pekerti)” (HR. Ahmad)
Tugas nabi yang digariskan dalam
sejarah hidupnya cukup menarik simpati manusia untuk mengikuti dan melaksanakan
ajaran-ajaran risalahnya. Karena Risalah yang diajarkan nabi Muhammad
memberikan informasi tentang faktor-faktor keutamaan akhlak, lengkap dengan
penjelasan aspek-aspeknya.[5][6]
b. Akhlak
merupakan salah satu ajaran pokok agama Islam, sehingga Rasulullah pernah
mendefinisikan agama itu dengan akhlak yang baik. Pendefinisian agama Islam
dengan akhlak yang baik itu sebanding dengan pendefinisian ibadah haji dengan
wuquf di Arafah. Rasulullah saw pernah menyebutkan,“Haji adalah Wukuf di
Arafah.” Artinya tidak sah haji seseorang tanpa wukuf di Arafah.
c.
Akhlak yang baik akan memberatkan timbangan kebaikan seseorang nanti pada hari
kiamat. Rasulullah saw bersabda:
مَامِنْ شَىْئٍ أَثْقَلُ فِى
مِيْزَانِ الْعَبْدِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ ...
(رواه الترمذى)
Artinya: ”Tidak
ada satupun yang akan lebih memberatkan timbangan (kebaikan) seorang hamba
mukmin nanti pada hari kiamat selain dari akhlak yang baik.”
d.
Rasulullah menjadikan baik buruknya akhlak seseorang sebagai ukuran kualitas
imannya.
e.
Islam menjadikan akhlak yang baik sebagai bukti dan buah dari ibadah kepada
Allah SWT. Misalnya: shalat, puasa, zakat dan haji.
1)
Allah memerintahkan solat wajib, sekaligus Allah menerangkan Hikmahnya.
Firman Allah :
وَاَقِمِ
الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةِ تَنْهَى عَنِ
الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ (العنكبوت: ٤٥)
Artinya :
“...dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji
dan munkar,”
Membersihkan jiwa dari perbuatan keji
yang membawa kehinaan dan mensucikan diri dari perkataan buruk adalah hakikat
shalat.
2)
Mengenai ibadah zakat pada hakikatnya bukan merupakan pajak yang diambil dari
kantong, tetapi merupakan pembinaan, menanamkan rasa kasih sayang yang tulus
dan mendekatkan hubungan ukhuwwah yang baik di antara lapisan masyarakat. Di
samping itu ia juga membantu menghilangkan sikap dengki dan permusuhan dari
dada kalangan fakir miskin terhadap saudara-saudara mereka yang berpunya. Hal
ini lebih berlanjut berimplikasi pada minimnya kasus tindak pencurian dan
berbagai jenis tindak kriminal lain ynag meresahkan masyarakat.[6][7]
3)
Begitu juga Islam mengajarkan ibadah puasa, bukan hanya sekedar menahan diri
dari makanan dan minuman dalam waktu yang terbatas, tetapi lebih dari itu
merupakan latihan menahan diri dari keinginan melakukan perbuatan keji yang
dilarang. Kita yakin bahwai badah puasa pasti mengandung manfaat bagi manusia,
kita juga menyadari bahwa manfaat puasa akan dapat dilihat dari segi kesehatan
maupun dalam pembentukan sikap kepribadian. Tegasnya dari segi manapun ibadah
puasa mampu memberikan kemanfaatan yang nyata.
4)
Menunaikan ibadah haji ke tanah suci yang diperintahkan kepada orang-orang yang
mampu merupakan pelengkap ibadah dari rukun Islam kelima. Kewajiban ini wajib
ditunaikan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan hati, sebagai perwujudan iman
dan taqwanya kepada Allah dan Rasul-Nya.[7][8]
Demikianlah garis besar ketentuan-ketentuan ibadah dalam
Islam yang dituangkan dalam rukun Islam yang erat hubungannya dengan pembinaan
akhlak.[8][9]
f.
Nabi Muhammad SAW selalu berdo’a agar Allah SWT membaikkan akhlak beliau.
3.
Hubungan Akhlak dengan Ihsan
Ihsan dalam
arti akhlak mulia atau pendidikan akhlak mulia sebagai puncak keagamaan dapat
dipahami dari beberapa hadits terkenal seperti “sesungguhnya aku diutus
hanyalah untuk menyempurnakan akhlak dan budi pekerti baik”.
Ihsan
secara lahiriyah melaksanakan amal kebaikan. Ihsan dalam bentuk lahiriyah ini,
jika dilandasi dan dijiwai dalam bentuk rohaniyah (batin) akan menumbuhkan
keikhlasan. Beramal Ihsan yang ikhlas membuahkan taqwa yang merupakan buah
tertinggi dari segala amal ibadah kita. Ihsan dalam akhlak sesungguhnya
merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat Ihsan
dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan
Rasul dalam salah satu haditsnya. Pada akhirnya ia akan berbuah menjadi akhlak
atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan maka ibadahnya akan
terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.[10][11]
Adapun
landasan Syar’i ihsan yaitu:
وَأَحْسِنُوا
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (١٩٥)
“Dan berbuat baiklah kalian karena
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. (QS.
Al-Baqarah: 195)
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu
untuk berbuat adil dan kebaikan....”. (QS. An-Nahl :90)
IV. KESIMPULAN
Iman, Islam dan Ihsan merupakan tiga serangkai yang tidak boleh
terpisah dalam kerangka agama Islam sesuai dengan bunyi tentang pengertian Iman, Islam dan Ihsan. Maksudnya
kesempurnaan agama (Islam) terletak pada tiga sendi, yaitu Iman, Islam dan
Ihsan. Seorang Islam dapat dikatakan sebagai muslim yang hakiki bila ia
dapat mengumpulkan dalam dirinya ketiga sendi tersebut.
Dengan
demikian, untuk melihat kuat atau lemahnya Iman
dapat diketahui melalui tingkah laku (akhlak) seseorang, karena tingkah
laku tersebut merupakan perwujudan dari Imannya yang ada di dalam hati. Jika
perbuatannya baik, pertanda ia mempunyai Iman yang kuat, dan jika perbuatannya
buruk maka dapat dikatakan ia mempunyai Iman yang lemah. Islam menjadikan
akhlak yang baik sebagai bukti dan buah dari ibadah kepada Allah SWT. Misalnya:
shalat, puasa, zakat dan haji.
[11][1]M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif
Al-Qur’an, ( Jakarta: Amzah, 2007), hlm.
1-2.
[5][6] Muhammad Al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, penerj. Muhammad
Rifa’i, (Semarang: Wicaksana, 1993), hlm. 10
[6][7] Dr. Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, penerj. Kamran
As’at Irsyadi dan Ghazali, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 246
No comments:
Post a Comment