Kata Pengantar
Puji dan syukur Pemakalah panjatkan kepada Allah SWT
atas rahmat-Nya yang telah dilimpahkan kepada Pemakalah sehingga Pemakalah
dapat menyelesaikan tugas makalah kelompok yang berjudul “Media dan Politik” yang
merupakan salah satu tugas mata kuliah Komunikasi Politik pada semester lima.
Pemakalah menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, namun demikian telah memberikan manfaat bagi Pemakalah.
Akhir kata Pemakalah berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Kritik dan saran yang bersifat menbangun akan Pemakalah terima dengan senang
hati.
Pekanbaru,
25 Oktober 2016
Pemakalah
Daftar Isi
Kata
Pengantar ..........................................................................................................
Daftar
Isi ...................................................................................................................
Bab
I
A. Latar
Belakang ..............................................................................................
B. Rumusan
Masalah .........................................................................................
C. Tujuan
...........................................................................................................
Bab
II
A. L
....................................................................................................................
B. L
....................................................................................................................
C. L
....................................................................................................................
D. L
....................................................................................................................
Bab
III
A. Kesimpulan
...................................................................................................
B. Kritik
dan Saran ............................................................................................
Daftar
Pustaka ..........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Media merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan manusia. hampir setiap saat manusia menggunakan media, baik media
cetak ataupun media elektronik. pada dasarnya, media merupakan sarana
komunikasi yang bertujuan memberikan informasi kepada masyarakat secara luas,
sehingga masyarakat dapat menerima informasi secara serentak.
Media menjadi alat yang paling ampuh untuk mengangkat bahkan
menjatuhkan salah satu calon. sudah menjadi rahasia umum, jika hari ini media
berlomba-lomba untuk memberitakan keberhasilan calon yang mereka usung dan
tidak sungkan untuk memberitakan keburukan calon yang menjadi lawan mereka. hal
ini tentunya bertentangan dengan fungsi utama dari media, namun dengan dalih
kebebasan Pers media dengan leluasa melakukan hal tersebut. selain itu semakin
banyaknya pemilik media yang terjun kebidang politik, diantaranya Abu Rizal
Bakrie (TV-One, ANtv, dan Viva News), Surya Paloh (Metro Tv), Hari Tanoe (MNC
Group : RCTI, MNCtv, Global Tv), Dahlan Iskan (Jawa Pos Group : 80 Surat kabar,
40 Percetakan, J-Tv, Batam Tv, Riau Tv).
Hal ini tentunya berimbas pada pemberitaan media yang tidak
seimbang dan membuat media seperti kehilangan jati dirinya. seharusnya media
lebih arif dan bijaksana dalam melakukan proses penyebaran informasi kepada
masyarakat, sebab secara perlahan namun pasti media akan membentuk pola pikir
atau cara pandang masyarakat tentang bagaimana melihat seseorang dan
kehidupannya. selain itu media juga selayaknya memberikan informasi yang
bernilai manfaat sehingga mampu mengembalikan manusia pada kodratnya sebagai
mahluk sosial dan berbudaya dari pada hanya sekedar mengejar keuntungan semata.
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Beberapa
teori Komunikasi
Dari
berbagai riset sosial yang pernah dilakukan, ternyata media memainkan peranan
sentral dalam aktivitas politik. Hasil penelitian dominik (1972) membuktikan
bahwa dari lima belas sumber informasi politik yang dinyatakan kepada
responden, ternyata ada sepuluh sumber yang diperoleh dari media, dan
selebihnya dari sumber lain seperti gereja, sekolah dan keluarga.
Melalui
media massa bisa diketahui aktivitas para politisi tentang pikiran-pikirannya,
pernyataan yang disampaikan, siapa yang menang dan siapa yang kalah, bagaimana
strategi lawan, berapa uang ia habiskan selama kampanye, bagaimana tampan
kandidat, apa yang dia janjikan kepada masyarakat, bagaimana kemampuan debatnya
dan sebagainya. Jelasnya, media berisi banyak informasi dan pendapat tentang
politik. Oleh karena itu, orang yang banyak mengikuti media memiliki perhatian
yang tinggi terhadap aktivitas politik. Mass media is the primary source of
political information, seperti yang dikatakan Jackson and Beeck (1970).
Begitu
besarnya pengaruh media terhadap aktivitas politik, sampai banyak penduduk
amerika serikat menunda untuk menentukan pilihannya, siapa yang akan menjadi
presiden lima tahun mendatang sebelum mereka lihat sang kandidat tampil di
televisi. Dalam kasus debat pemilihan presiden tahun 1960 antara John F.
Kennedy dengan Richard Nixon yang pada awalnya diunggulkan oleh jajak pendapat
sebagai calon pemenang ternyata bisa dikalahkan oleh Kennedy yang tampil dengan
penuh pesona dalam kaca televisi. Demikian juga ketika Jimmy Carter berhadapan
dengan Gerald Ford pada tahun 1976, hasil jajak pendapat menempatkan Ford akan
memenangkan pertarungan melihat kedudukannya sebagai presiden yang berkuasa
(incumbent), ternyata bisa dikalahkan oleh carter. Pengalaman yang sama
berulang lagi pada pemilihan presiden 1992 ketika Bill Clinton yang tadinya
tidak terkenal dan tidak diunggulkan ternyata bisa mengalahkan presiden Bush
melalui penampilannya yang cerdas dan telegenik dalam televisi. Media memang
bisa membuat politisi menjadi selebriti.
Melihat
besarnya pengaruh televisi terhadap pencalonan presiden di Amerika sehingga ada
yang berpendapat bahwa andai kata televisi sudah ada pada waktu pemilihan
presiden tahun 1860, dipastikan Abraham Lincoln yang berwajah kurus tidak akan
terpilih menjadi presiden, sekalipin ia memiliki potensi dan kepribadian yang
sangta tinggi. The media is the message, sperti yang dikatakn McLuhan.
Ada
beberapa teori komunikasi yang dapat dijadikan acuan untuk melihat keperkasaan
media maupun kelemahan-kelamahannya memersuasi masyarakat dalam hubungannya
dengan aktivitas politik.
1.
Teori
Jarum Suntik (Hypodermic Needle Theory)
Teori ini diangkat setelah meilhat
keberhasilan penggunaan medium radio dan media cetak sebagai alat propaganda
dalam perang dunia I, serta keberhasilan drama radio Orson Walles yang
mengisahkan turunnya makhluk Mars keatas bumi yang didramatisasi sehingga
membuat penduduk sejumlah kota Amerika gempar. Teori jarum suntik berpendapat
bahwa khalayak sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk menolak informasi
setelah ditembakkan melalui media komunikasi. Khalayak terlena seperyi
kemasukan obat bius melalui jarum suntik sehingga tidak bisa memiliki
alternatif untuk menentukan pilihan lain, kecuali apa yang disiarkan oleh
media. Teori ini juga dikenal dengan sebutan teori peluru (bullet theory).
2.
Teori
Kepala Batu
Teori ini dilandasi pemahaman psikologi
bahwa dalam diri individu, ada kemampuan untuk menyeleksi apa saja yang berasal
dari luar dan tidak di respons begitu saja. Teori kepala batu menolak teori
jarum suntik atau teori peluru dengan alasan jika suatu informasi ditembakkan
dari media, mengapa khalayak tidak berusaha berlindung untuk menghindari
tembakan informasi itu? Masyarakat atau khalayak memiliki hak untuk memilah
informasi yang mereka perlukan dan informasi yang tidak mereka perlukan.
Kemampuan untuk menyeleksi informasi terdapat pada khalayak menurut perbedaan
individu, persepsi, dan latar belakang sosial budaya.
Perbedaan individu bahwa anak-anak
cenderung lebih senang menonton film kartun sementara perempuan lebih senang
menonton sinetron atau telenovela. Perbedaan persepsi diakibatkan oleh
pengalaman individu, mislanya usia dan faktor-faktor psikologis turut
menentukan jenis bacaan dalam surat kabar maupun jenis tayangan dalam televisi.
Perbedaan sosial budaya dapat dilihat dari segi pendidikan, ekonomi, etnis,
agama, dan kedudukan dalam masyarakat. Orang yang berpendidikan cenderung lebih
senang membaca surat kabar yang memiliki banyak ulasan, demikian juga halnya
menonton televisi lebih senang dengan acara siaran berita daripada hiburan.
3.
Teori
Kegunaan dan Kepuasan (Uses and Gratification Theory)
Teori ini diperkenalkan oleh Herbert
Blumer dan Elihu Katz pada tahun 1974 lewat bukunya The Uses of Mass
Communication; Current Perdpective on Gratification Research. Teori ini
banyak berkaitan dengan sikap dn perilaku para konsumen, bagaimana mereka
menggunakan media untuk mencari informasi tentang apa yang mereka butuhkan.
Dalam praktik politik teori ini banyak digunakan oleh para politisi. Misalnya
bagaiaman Bill Clinton mempelajari cara debat Kennedy ketika ingin tampil debat
dengan Bush dalam pemilihan presiden Amerika 1992.
Tidak itu saja, di gedung-gedung
parlemen bisa dilihat bagaiman para anggota DPR membaca dan mengikuti begitu
banyak media dalam sehari, hanya untuk memperoleh informasi dari hasil liputan
para wartawan. Politisi menjadikan media sebagai mata dan hati untuk mengetahui
apa yang terjadi di masyarakat, sekaligus menjadikan media sebagai pengganti
partai untuk menghubungkan dengan para pendukung atau konstituantenya. Namun,
dibalik itu orang bisa belajar dan mengambil manfaat dari apa yang disiarkan
oleh media, misalnya ketika TVRI masih menjadi satu-satunya media televisi yang
sangat ketat dalam pemberitaan, boleh dikata belum ada unjuk rasa yang
dilakukan oleh masyarakat indonesia. Namun, ketika televisi swasta
diperkenankan menyiarkan berita-berita luar negeri tanpa banya seleksi, orang
di indonesia dengan bebas melihat demonstrasi mahasiswa di korea selatan dan
adu jotos para anggota parlemen di Taiwan. Belajar dari apa yang mereka pernah
lihat di televisi, tidak mengherankan jika demonstrasi dan unjuk rasa juga
semakin menjamur, bahkan praktik yang hampir mengakibatkan perkelahian antar
para anggota parlemen juga sudah terjadi di indonesia karena meniru apa yang
mereka lihat di televisi.
4.
Teori
Lingkar Kesunyian (Spiral Of Silence Theory)
Teori ini diperkenalkan oleh Elizabeth
Noelle Neumann, mantan jurnalis kemudian menjadi profesor emeritus pada salah
satu institut Publisistik di Jerman. Teorinya banyak berkaitan dengan kekuatan
media yang bisa membuat opini yang bersifat laten berkembang di tingkat bawah
yang tersembunyi karena tidak sejalan dengan opini publik mayoritas yang
bersifat manifes (nyata dipermukaan). Opini publik yang tersembunyi disebut
opini yang berada dalam lingkar keheningan (the spiral of silence). Menurut
beberapa pengamat, teori ini dibuat oleh Elizabeth N. Neumann tidak lepas dari
pengalamannya sebagai mantan wartawan di zaman Nazi diaman Hitler sangat
membenci orang Yahudi sehingga timbul pendapat umum laten yang tersembunyi di
tingkat bawah karena diburu oleh rasa ketakutan.
Di indonesia, ketika pemerintahan
Soeharto berlangsung, terutama satu dekade menjelang kejatuhannya banyak sekali
opini publik berkembang di tingkat bawah, tapi tidak bisa terangkat karena
bertentangan dengan opini mayoritas di tingkat atas. Akibatnya muncul banyak
humor politik di kalangan masyarakat yang tidak bisa di publikasikan dalam
media massa. Misalnya istilah Tosiba diplesetkan Tommy, Sigit, dan Bambang,
AIDS (Aku Ingin Ditelpon Soeharto), dan sebagainya. Bahaya opini publik yang
mengalami lingkar keheningan seperti ini bisa menjadi bom waktu yang setiap
saat bisa meletus dan melahirkan kerusuhan.
5.
Teori
Penanaman (Cultivation Theory)
Teori ini dibuat oleh suatu tim riset
yang dipimpin oleh George Gerbner di Annenberg School of Communication,
University of Pennsylvania pada tahun 1980. Teori ini memberi kontribusi studi
komunikasi dengan sebutan Teori Penanaman atau Teori Kultivasi. Teori ini
menggambarkan kehebatan televisi dalam menanamkan sesuatu dalam jiwa penonton,
kemudian terimplementasi dalam sikap dan
perilaku mereka. Misalnya kebiasaan televisi menyiarkan berita atau film
tentang kejahatan memberi pengaruh (tertanam) pada sikap dan perilaku penonton
untuk tidak mau keluar pada malam hari tanpa ditemani orang lain. Akan tetapi,
tidak demikian halnya di Inggris, stasiun-stasiun televisi tidak terbiasa
menayangkan berita-berita kejahatan dan kekerasan sehingga masyarakat disana
tidak perlu takut keluar malam.
Kasus banyaknya tindakan kriminal yang
dikalahkan oleh anak anak muda di Amerika serikat pernah diteliti oleh polisi
dan ahli psikologi. Dari hasil riset tersebut diperoleh data bahwa banyak
tindakan kejahatan ditimbulkan oleh ulah anak-anak yang pernah menjadi pecandu
film kekerasan di usia kanak-kanaknya. Menurut kalangan psikolog, anak-anak
yang berada dalam rentang usia antara 7-9 tahun tidak mampu membedakan antara
dunia khayal dengan dunia nyata sehingga apa yang mereka tonton berpengaruh
(tertanam) terhadap jiwa, sikap, dan perilakunya di waktu remaja (McConnell,
1986).
Tingginya frekuensi liputan televisi
tentang kekerasan, pemerkosaan, dan kejahatan di beberapa kota besar di
indonesia seperti jakarta, Surabaya, Makassar, dan Palembang, menyebabkan para
penonton dapat bersikap dan berperilaku tidak mau mengunjungi kota-kota
tersebut karena dipersepsikan (tertanam) sebagai kota yang penuh tindak
kriminal, padahal dalam realitasnya secara keseluruhan tidak demikian. Pernah seorang
wartawan ibukota enggan ke Makassar ketika ditugasi meliput pameran budaya
karena selalu melihat unjuk rasa dalam layar TV. Dalam bayangan dia, Makassar
adalah kota yang tidak aman, penuh kekerasan, dan sebagainya. Namun, ketika ia
memberanikan diri datang karena belum pernah berkunjung ke kota ini, ia
menemukan hal yang sangat bertolak belakang dengan apa yang disiarkan dalam
televisi. Ia melihat bahwa Makassar adalah kota yang aman, cantik, dan ia pun
ingin kembali jika ada kesempatan lain.
Dalam kasus sinetron, seorang artis di
personifikasikan sebagai ibu yang judes, cerewet, dan gila urusan di layar TV.
Ketika dalam suatu kesempatan shopping di swalayan, si artis yang judes itu mau
ditonjok oleh seorang ibu yang merupakan penonton sinetron tersebut, padahal
dalam realitasnya, si artis tersebut adalah seseorang yang sangat berperilaku
baik diluar tayangan layar kaca. Sebaliknya, ada juga bintang televisi yang di
elu-elukan dan disanjung oleh para penggemarnya, tetapi diluar layar kaca iya
berperilaku seronok dan pecandu narkotik dan obat-obatan terlarang.
Dibidang politik misalnya, teori ini
memiliki pengaruh yang besar bagi para penonton dengan menggambarkan (tertanam)
dalam jiwa, sikap dan perilaku mereka, bahwa partai yang banyak tampil di
televisi diasosiasikan sebagai partai besar dan berpengaruh, sekalipun dalam
kampanye, kameramen televisi merekayasa dengan hanya meliput tempat-tempat
kerumunan massa. Dari faktor penanaman media terhadap jiwa pemirsa memberi
pengaruh yang besar terhadap pemilih. Oleh karena itu, tidak heran jika aktor
sekaliber Ronald Reagan dan Arnold Schwarzenegger bisa terpilih sebagai
presiden dan walikota di Amerika. Demikian juga Joseph Estrada terpilih sebagai
presiden dan Bon Revilla Sebagai senator di Filipina. Di Indonesia berkat
pengaruh media sejumlah aktor dan artis misalnya Rano Karno, Ajie Massaid, Dede
Yusuf, Marissa Haque, Miing Gumilar sangat dikenal oleh masyarakat sehingga
bisa terpilih sebagai anggota parlemen.
Selain teori ini berhasil dalam
menanamkan pengaruh pada jiwa pemirsa, teori kultivasi banyak mendapat kritik
terutama dlam liputan yang bersifat palsu (pseudo events).
6.
Teori
Agenda Stting (Agenda Setting Theory)
Teori agenda setting pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1973 oleh Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw dari
School of Journalism, University of North Carolina lewat tulisannya The Agenda
Setting Function of the Mass Media. Kedua pakar ini tertarik untuk melihat
apakah pendapat para pemilih mengenai isu-isu yang di pandang sangat penting
dibentuk oleh besarnya pemberitaan mengenai isu-isu tersebut. Dari hasil riset
itu McCom dan Shaws menemukan adanya korelasi yang signifikan antara isu yang
diangkat oleh media dengan isu yang dianggap penting oleh pemilih. Teori ini
mengakui bahwa media memberi pengaruh terhadap khalayak dalam pemilihan
presiden melalui penayangan berita, isu, citra, maupun penampilan andidat itu
sendiri. Becker & McLeod (1976) dan Iyenger (1987) mengakui bahwa
meningkatnya penonjolan atas isu yang berbeda bisa memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap opini publik. Dalam konteks politik, partai-partai dan para
aktor politik akan berusaha memengaruhi agenda media untuk mengarahkan pendapat
umum dalam pembentikan image.
Dengan menonjolkan isu, citra dan karakteristik
tertentu kandidat, media ikut memberikan sumbangan yang signifikan dalam
melakukan konstruksi persepsi publik dalam pengambilan keputusan, apakah akan
ikut memilih dan siapa yang akan dipilih. McComb mencontohkan bahwa dalam
kondisi tertentu masyarakat biasanya bersifat vakum dan statis. Dalam kondisi
seperti ini media bisa tampil mengambil keputusan dengan mengekspos
masalah-masalah yang perlu dipikirkan oleh masyarakat. Misalnya bagaimana media
menggairahkan orang agar tertarik menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Media
tidak saja tergantung pada berita kejadian, tetapi ia memiliki tanggung jawab
untuk menggiring orang melalui agenda-agenda yang bisa membuka pikiran meraka.
Seperti yang dikatakan McCombs “the mass media may not be succesful in telling
people what to think, but the media are stunningly successful in telling their
audiance what to think about.”
B.
Hubungan
Media dengan Politisi dan Pemerintah
Hubungan antara media dengan
politisi atau pemerintah sudah berjalan sekian lama, dan hubungan itu bisa
dikatakan tidak bisa dipisahkan antara keduanya, bukan saja karena wartawan
membutuhkan para politisi atau pejabat pemerintah sebagai sumber informasi
(make of news), tetapi juga para politisi maupun pejabat pemerintah memerlukan
media untuk menyampaikan pikiran-pikirannya maupun kebijakan yang mereka ambil
untuk kepentingan orang banyak. Tidak heran jika para wartawan sering tampak
bergerombol didepan gedung istana, parlemen, kantor kementrian, kantor gubernur
atau bupati menunggu kesempatan untuk mewawancarai para politisi atau para
pejabat tersebut. Selain dengan cara itu, para politisi atau pejabat sering
kali mengundang para wartawan untuk makan malam, berkunjung ke proyek atau dia
sendiri yang berkunjung ke kantor redaksi untuk diwawancarai dan
dipublikasikan.
Meski ada hubungan yang saling
membutuhkan antara media dengan politisi, namun hubungan ini kadang menimbulkan
gesekan yang kurang harmonis. Oleh karena itu, ada yang mengatakan hubungan
antara keduanya seperti benci, tetapi rindu (hate and love).
Hubungan antara media dan pemerintah
biasanya lebih banyak bersifat negatif. Sikap negatif inilah yang sering
menimbulkan miscommunication dan misinformation. Konsep terakhir yang muncul
adalah kriteria penyimpangan (deviance), yakni sesuatu mempunyai nilai berita
jika menyimpang dari norma rata-rata, baik yang menyangkut peristiwa, orang,
perilaku, arah perkembangan dan sebagainya (Shoemaker dkk. Dalam Dahlan, 1990).
Dengan demikian, pers cenderung untuk menyiarkan berita yang tidak rutin,
kekacauan, kegagalan, dan sebagainya yang tidak nyaman bagi pejabat, namun
disukai oleh pembaca. Sementara itu,
pemerintah sendiri mempunyai kriteria tentang berita, yaitu sering dikaitkan
dengan keberhasilan, ketertiban, dan pembangunan. Perbedaan persepsi ini
merupakan sumber benturan yang selalu terjadi dalam interaksi antara media dan
pemerintah dan sering dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kepentingan politik.
Menurut penasehat publikasi Reagan, pemerintah yang sukses, mestinya dapat
menyusun agenda apa yang harus dilakukan untuk masyarakat, dan bukannya media
yang harus membuatkan agenda apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk
masyarakat (Gurevitch dan JG. Blumer dalam Lichtenberg, 1991).
Permusuhan antara pers dengan
pemerintah menurut Merril dikarenakan media menjalankan fungsinya sebagai
watchdog dalam mengontrol jalannya pemerintah. Merril justru mempertanyakan
kenapa hubungan antara media dan pemerintah mesti bermusuhan. Kenapa tidak bisa
bersahabat dan bekerja sama untuk kepentingan orang banyak. Bukankah keduanya
bekerja un tuk kepentingan publik? Tampaknya media atau wartawan senang jika
memiliki sikap berlawanan dengan pemerintah, padahal hubungan antara keduanya
sesungguhnya tidak dibentuk atas dasar permusuhan, melainkan hidup dalam satu
kehidupan yang simbiosi dan saling membutuhkan.
Masyarakat
Media
Pemerintah
Dari gambar ini
terlihat adanya mitra kerja sama segitiga antara masyarakat, media, dan
pemerintah. Demikian pula dalam hal pengawasan, bukan hanya media yang memiliki
hak pengawasan terhadap pemerintah dan masyarakat, tetapi antara ketiganya saling
mengawasi satu sama lain. Tentu saja menjadi persoalan jika media tidak
memiliki kesediaan untuk diawasi oleh pemerintah atau masyarakat. Ini berarti
media menutut adanya hak-hak khusus atau keistimewaan, padahal sebagai suatu
lembaga kemasyarakatan ia memiliki kedudukan yang sama dengan lembaga-lembaga
sosial lainnya atau individu didepan hukum. Pengawasan tidak diartikan sama
dengan pembredelan atau kontrol dalam bentuk sensor, melainkan pengendalian
agar tetap berada dalam landasan cita-cita bangsa untuk menciptakan suatu
negara adil, makmur, dan sejahtera.
Dalam hal penegakan demokrasi,
Gurevitch dan J.G Blumler dakam Lichtenberg (1991) mengharapkan media massa
bisa berperan untuk:
a. Mengawasi
lingkungan sosial politik dengan melaporkan perkembangan hal-hal yang menimpa
masyarakat, apakah masyarakat makin sejahtera atau tidak.
b. Melakukan
agenda setting dengan mengangkat isu-isu kunci yang perlu dipikirkan dan
dicarikan jalan keluar oleh masyarakat.
c. Menjadi
platform dalam rangka menciptakan forum diskusi antara politisi dan juru bicara
negara terhadap kelompok kepentingan dan kasus lainnya
d. Membangun
jembatan dialog antara pemegang kekuasaan pemerintahan dan masyarakat luas.
e. Membangun
mekanisme sehingga masyarakat memiliki keterlibatan dalam hal kebijakan publik.
f. Merangsang
masyarakat untuk belajar, memilih, dan melibatkan diri, dan tidak hanya semata
pengikut dalam proses politik.
g. Menolak
upaya dalam bentuk campur tangan pihak-pihak tertentu agar pers keluar dari
kemerdekaan dan integritasnya, serta dedikasinya untuk melayani kepentingan
masyarakat.
h. Mengembangkan
potensi masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan politiknya.
Untuk
mengembangkan harapan media massa dalam perjuangan demokrasi, sudah tentu tidak
begitu mudah. Ada empat hal yang bisa menjadi rintangan dalam pencapaian peran
media dalam mendorong demokrasi, antara lain:
1) Konflik
yang terjadi di antara nilai-nilai demokrasi itu sendiri, demikan pula konflik
antara pendapat mayoritas dan pandangan kelompok marginal yang harus didengar.
2) Para
komunikator politik yang berwewenang sering muncul sebagai elite dunia atau
nasional sehingga jauh dari lingkungan dan perspektif orang biasa.
3) Tidak
semua anggota masyarakat tertarik pada
politik. Dalam pandangan demokrasi liberal orang berusaha memiliki kemerdekaan
untuk menetukan dirinya dan menetukan jarak terhadap sistem politik yang ada,
termasuk hak untuk menetukan selera politik.
4) Media
dalam mendorong nilai-nilai demokrasi hanya dengan cara yang sesuai lingkungan
politik yang berjalan.
Di AS media
sebagai perusahaan bisnis harus hidup dalam kompetisi pasar seperti Rupert Murdoch yang mengendalikan
kebijakan editorial surat-surat kabar yang berada dalam kekuasaannya, termasuk
menggiring pemerintah kota dan General Electric sebagai pemilik modal
stasiun-stasiun TV di AS. Selain itu, kendala politik juga menjadi masalah, di
mana “national interest” sering kali dicanangkan oleh presiden, terutama dalam
hal hubungan luar negeri, perbankan, dan masalah pertahanan dan militer. Oleh
karena itu, Hallin dalam Mcnair (2003) menekankan agar media dalam memelihara
hegemoni antara kekuatan-kekuatan yang berperan dalam masyarakat termasuk media
massa diharapkan bisa lebih fleksibel dam mudah beradaptasi dalam mencairkan
kondisi sehingga sistem politik yang ada dalam masyarakat tidak membeku dan
tersumbat, melainkan bisa lebih dinamis. Untuk itu media harus membuka diri
sebagai ruang publik (publik sphere) dan menjadi wacana bagi semua pihak.
Berbeda dengan
pandangan yang menginginkan adanya kerja sama antara media dengan pemerintah,
maha guru komunikasi dari University of Oregon Everett E. Dennis, justru
melihat media sebaiknya bersikap kritis dan argumentatif terhadap pemerintah.
Alasannya, karena informasi yang disebarkan media dapat menimbulkan kekuatan untuk
melawan penguasa yang ada. Oleh karena itu, pers sebagai lambang kekuasaan
diperebutkan oleh para elite sejak dulu sampai sekarang guna mengendalikan
informasi dan mendukung kebijakannya. Hal ini juga sejalan dengan pandangan
Robert W.McChesney dalam Thomas (2004) bahwa tanpa campur tangan pemerintah,
media akan sehat dan tumbuh subur untuk mendukung terwujudnya apa yang disebut
kebebasan politik.
Usaha pemerintah
untuk menjaga stabilitas dalam negeri
dengan mencoba mendekati media dapat dipahami karena bisa dikatakan
hampir semua pemerintah di dunia tidak ada yang menginginkan media mengacaukan
masyarakat. Mereka berusaha menjinakkan media dengan berbagai macam alat
penekan, melalui penggunaan tekanan hukum (legal pressure), ekonomi dan
political pressure, undang-undang kerahasiaan negara, dan yang paling buruk
adalah sensor. Selain itu, pemerintah menggunakan media untuk mempromosikan
diri dengan program dan kebijakannya, sekaligus untuk mengontroldan mengetahui
apa yang terjadi dalam masyarakat. Persoalan yang timbul, bagaimana
profesionalisme pers bisa memahami hal ini, apakah tujuan pemerintah sejalan
dengan tujuang pers.
Menurut kalangan
pers, suatu hal agak keliru dan salah kaprah adalah jika media pers selalu
diasosiakan dengan sikap menyerang kepada pemerintah. Pers menginginkan
pemerintah harus jujur sebab kalau pemerintah sudah tidak jujur, pers
terpancing untuk mencari ketidak jujuran itu. Sebaliknya pers juga harus jujur
dan tidak mencari-cari kesalahn yang tidak benar untuk kepentingan tertentu
atau diperalat. Pers harus selalu waspada untuk tidak dijadikan kuda tunggangan
untuk mengejar ambisi seseorang. Pers harus berusaha untuk menghindari agar ia
tidak dijadikan moncong oleh para politisi, meski selama ini pers tidak pernah
menjadikan para politisi sebagai moncongnya.
Meski hubungan
antara pers dan pemerintah mengalami pasang surut dalam perjuangan menegakkan
demokrasi, terutama dalam mengingatkan para petugas negara yang diberi
legitimasi sebagai wakil rakyat untuk mengurus kepentingan rakyat, namun
kondisi itu tidak mengurangi nyali para wartawan untuk melaksanakan
profesionalisme dengan rambu-rambu hukum yang bisa menjerat mereka dalam bentuk
delik pidana. Idealisme profesionalisme untuk mendudukan mereka sebagai watchdog (anjing penjaga) seperti
istilah Sayed Arabi Idiid sebagia inspektur
jenderal yang bertugas mengkritisi jalannya pemerintahan agar tidak
melenceng dari cita-cita demokrasi. Pers sekali-kali perlu menggigit, tetapi
kalau bisa jangan sampai melukai. Bahkan posisi yang lebih penting pers atau
media ditempatkan pada posisi the fourth
branch of government, yakni sebagai pilar keempat demokrasi selain parlemen
(legislatif), pemerintah (eksekutif),dan peradilan (yudikatif).
Di sini bisa
dilihat betapa sulit memehami kebebasan pers suatu negara tanpa memahami sistem
yang berlaku dalam negara itu, sebab free
press can also lead to bad government “kata Kishore Mahbubani (1993).
Membangun hubungan antara media dan dengan pemerintah tidak mudah sebab media
selain berfungsi sebagai predictor of
political change, juga berperan sebagai political
actor dalam suatu negara. Media tidak hanya terlibat dalam proses pemilu,
tetapi juga dalam tugas-tugas rutin pemerintahan sampai kepada pesan-pesan
iklan dan program hiburan yang bernuansa politik. Keterlibatan media sebagai
aktor politik bisa dilihat selain perannya dalam membuat agenda untuk
mendapatkan perhatian publik, juga melalui berbagai bentuk publikasi yang dapat
dijadikan sebagai wacana politik. Misalnya kolom yang ditulis oleh orang tertentu,
feature tentang figur politisi, karikatur, sementara dalam media siaran selain
dalam bentuk iklan politik, juga disediakan program debat dan talk show yang bisa diisi oleh para
politisi sebagai peluang untuk beriklan tanpa bayar.
Meskipun konflik
antara pers dengan pemerintah, khususnya pemerintah pusat tidak begitu banyak
selama reformasi, termasuk dengan aparat TNI dan Polri. Konflik itu tampaknya
lebih banyak diwarnai dendam pribadi, dan tidak lagi di dalam bentuk intervensi
lembaga kemiliteran terhadap pers seperti halnya pada masa rezim Soekarno dan
Soeharto. Contoh konflik antara media dan massa parpol serta aparat disebutkan
sebagai berikut
a.
24 November 1999, Majalah Tempo No.38,22
November 1999 menurunkan laporan
“Hamzah Haz dan Tuduhan Korupsi” Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK)
kelompok pendukung PPP jadi berang.
Mereka berunjuk rasa mengutuk Tempo. Sekjen GPK Emron Pangkati menudugh pers,
termasuk Tempo terlibat dalan konspirasi yang bertujuan merusak nama baik
Hamzah Haz yang ujung-ujungnya bertujuan memecah belah PPP.
b.
6-7 Mei 2000, Harian jawa pos edisi minggu 7 Mei tidak bisa
terbit karena kantor media ini diduduki Bnaser-Anshor dari sore hari hingga
tengah malam menyebabkan wartawan tidak bisa bekerja. Insiden pendudukan kantor
Jawa Pos dipicu berita yang berjudul “PKB gerah, PBNU bentuk tin klarifikasi”
Para demonstran menuntut tiga hal, yakni memecat wartawan yang menulis berita
tersebut, minta maaf melalui iklan selama satu bulan penuh, dan membangun
masjid senilai Rp35 miliar.
c.
23 Juni 2000, Komandan Laskar Jihad
Djafar Umar Thalib mengancam akan membunuh para wartawan siuwalima dan akan menghancurkan kantor harian yang bertiras 5.000
eksemplar itu. Pasalnya, meurut Djafar isi surat kabar siuwalima banyak mendiskreditkan umat Islam di Ambon. Akibat ancaman itu, para wartawan siuwalima menyembunyikan diri selama
beberapa hari.
Dari uraian
diatas, kita memperoleh kesan bahwa hubungan antara media dan politik, selama
masa reformasi, kalaupun tidak lagi terlalu banyak tekanan dan campur tangan
dari pihak pemerintah dan militer, konflik dengan partai politik frekuensinya
cukup tinggi, terutama dalam hubungannya dengan gerakan amuk massa yang banyak
digerakkan oleh partai-partai politik, baik itu di tingkat pusat maupun di
daerah-daerah.
Maraknya
tampilan berita tentang korupsi, illegal
logging dan unjuk rasa di gedung-gedung pemerintahan, markas kepolisian,
kejaksaan, dan parlemen tidak lagi menjadi momok bagi para Indonesia karena hal
itu dipandang memberi peluang kepada media untuk mencoba memerankan diri dalam
membantu pemerintah menciptakan good
governance yang transparan dan akuntabel. Kebiasaan-kebiasaan yang tadinya
dianggap sensitif dan peka dalam budaya birokrasi Indonesia semasa
pemerintahan. Soeharto melalui berbagai macam euphemism, makin disadari sebagai upaya rezim orde baru mengemas
diri untuk membunuh sifat-sifat kritis masyaraka. Oleh karena itu, keberanian
masyarakat untuk mengkritik para birokrat bukan hanya dalam bentuk berita koran
dan televisi atau unjuk rasa, tetapi secara terang-terangan dilakukan dalam
bentuk parodi dan tayangan “Republik Mimpi” menjadi hiburan tersendiri bagi
masyarakat untuk melihat perangai para pemimpin bangsa.
Tayangan seperti
ini tentu saja memiliki nilai plus minus atau pro dan kontra, tetapi disisi
lain memiliki manfaat agar jabatan-jabatan birokrasi kenegaraan seperti
presiden dan menteri tidak lagi dilihat sebagai posisi yang sakral dari
masyarakat, melainkan mendekatkan presiden dan menteri kepada rakyat sehingga
tidak terlihat jarak yang begitu jauh. Dalam hubungannya dengan keberanian
mereka melakukan kritik, mereka melihat para pejabat adalah representasi publik
yang memiliki legitimasi. Karena itu, mereka harus siap menerima kritik dari
masyarakat. Kata Thomas Jafferson “Politician who complain about media are like
sailors who complain about the sea, atau dengan pepatah lama “jangan berumah di
tepi pantai jika takut dilebur ombak, jangan jadi pejabat publik jika takut di
kritik oleh media.”
C.
Media
Massa Dalam Kehidupan Politik Negara
Peranan media
massa dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat modern semakin besar.
Hal itu tampak pada usaha penggunaan media massa untuk mmempercepat proses
perubhan sosia di negara-negara berkembang, ataupun penggunaannya untuk
kammpanye politik, advvertensi, dan ropaganda.
Penggunaan media
massa untuk suatu kampanye tampaknya sangat esensial dalam kehidupan politik.
Di Amerika, setiap ada pemilihan presiden media massa diseluruh negeri hapir
selalu digunakan untuk kegiatan kampanye. Terutama kampanye melalui televisi
merupakan hal yang menarik.
Di sini tampak
peranan kammpanye melalui media massa sangat besar artinya bagi seorang
kandidat. Tetapi, apakah setiap kampanye melalui media massa selalu menjajikan
keberhasilan? Tampaknya tidak. Ada kondisi-kondisi tertentu yang mendukung
keberhasilan suatu kampanye. Menurut Dennis McQuaill (2000), suatu kampanye
kemungkinan berhasil jika ada kondisi tertentu yang mendukung pada situasi audience, pesan (message), dan sumber (source).
Untuk audiensi;
pertama, kampanye harus dapat menjangkau khalayak yang luas. Kedua, audiensi yang dijangkau itu harus
sesuai dengan sasaran kampanye. Ketiga, sifat
khalayak yang dituju tidak mempunyai sikap antipati terhadap materi kammpanye. Keempat, kampanye akan berhasil jika
didukung oleh struktur komunikasi interpersonal yang sesuai dengan yang
diharapkan. Kelima, audiensi
benar-benar dapat memahami isi kampanye secara benar. Adapun pada kondisi
pesan; pertama, pesan harus tidak
mempunyai makna ganda (ambigu) dan sesuai dengan khalayaknya. Keduua, kampanye yang bersifat
informatif akan lebih mudah berhasil daripada kampanye untuk mengubah sikap. Ketiga, materi kampanye bukanlah hal
yang asing bagi khalayak melainkan sesuatu yang sudah akrab dengan mereka. Keempat, perlu adanya petisi atau
pengulangan penyampaiaan lebih berpengaruh.
Pada sumber;
perlu adanya kondisi sebagai berikut; pertama,
usaha adanya monopoli, yakni seluruh saluran komunikasi digunakan untuk
menyampaikan pesan kampanye yang sama. Kedua,
sumber mempunyai status yang tinggi di hadapan khalayak, mempunyai
kepribadian yang menarik karena sebagai bintang atau pahlawan di masyarakat.
Ketiga,
kondisi
pada media yang digunakan: pertama, media
yang digunakan adalah media yang akrab dengan khalayak, kedua, harus disesuaikan dengan sasaran yang dituju. Usahakan satu
media dengan yang lainnya yang saling melengakapi.
Peranan
komunikasi massa dalam kehidupan sosial memang sangat luas, tidak saja untuk
kampanye dalam rangka komunikasi politik, tetapi seluruh kehidupan manusia modern
tidak terlepas dari media massa. Adapun Daniel Lerner menemukan dalam
peneliiannya di Trki bahwa perubahan sosial sanga dipengaruhi oleh penggunaan
media massa (Lerner, 1958).
Namun, dari
sekian banyak kesimpulan mengnai peranan media massa, ada suatu hal yang sangat
menarik, yaitu apa yang dikemukakan oleh seorang sarjana psikologi, Fesbach
dalam teori katarsisnya. Ia berpendapat bahwa media massa pada dasarnya
berperan untuk saluran agresi manusia. Jika seseorang berkeinginan membunuh
atau berperang, untuk menyalurkan agresinya, ia cukup melihat film perang saja,
dengan demikian akan tersalur kehendak agresinya.
D.
Ketika
Media Memiliki “Power”
Salah satu
bentuk media massa yang paling dominan sekarang, tetapi sekaligus memiliki
kekhasan adalah media penyiaran, khususnya televisi. Di era demokrasi liberal
seperti sekarang, media penyiaran tidak cukup dipandang hanya sebagai kekuatan civil soviety yang harus dijamin
kebebasannya, namun juga harus dilihat sebagai kekuatan kapitalis, bahkan
politik elite tertentu.
Gejala ini
sangat kentara dan nyata terluhat pada model pemberitaan atau progra current issue di televisi swasta, yang
mengkhususkan pada berita. Impartialitas acap kali diabaikan. Pemilik yang
sedang getol memobilisasi dukungan politik, bisa muncul setiap saat bak
pahlawan di medianya. Sementara lawan politiknya cenderung dicerca habis dengan
mengabaikan imparsialitas. Secara kasat mata meia TV oleh pemiliknya dipakai
sebagai polotical tool gerakan yang
dipimpinnya.
Padahal regulasi
tentang keharusan imparsialitas bagi media penyiaran itu adalah kewajiban yang
berlaku global di berbagai negara demokrasi. Terlebih telah diatur dalam UU
32/2002 tentan Penyiaran pasal 36 ayat 4 yang menyebutkan “Isi siaran wajib
dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan glongan”.
Kemudian, berdasarkan aturan KPI No.9/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran
dan Standar Program Siaran pasal 5 ayat e “Lembaga penyiaran menjunjung tinggi
prinsip ketidak berpihakan dan keakuratan”. Pasal 9 tentang prinsip
jurnalistik: “ Lembaga penyiaran harus menyajikan informasi dalam program
faktual dengan senantiasa mengindahkan prinsip akurasi, keadilan, dan ketidak
berpihakan (imparsialitas).”
Persoalannya,
bagaiman ketika prinsip dan ketentuan imparsialitas sudah begitu lama
diabaikan. Sementara UU dan KPI diterjang. Sebenarnya KPI sudah memperingati
media televisi yang sedang bermasalah ini. Tapi tampaknnya tabiat melanggar
Imparsialitas terus saja kembali terus dulangi. Karena itu bisa dipahami jika
ada pernyataan keras, dari pihak yang merasa
diperlakukan tidak adil.
No comments:
Post a Comment