Friday, February 16, 2018

MAKALAH KOMUNIKASI POLITIK


Kata Pengantar
Puji dan syukur Pemakalah panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat-Nya yang telah dilimpahkan kepada Pemakalah sehingga Pemakalah dapat menyelesaikan tugas makalah kelompok yang berjudul “Media dan Politik” yang merupakan salah satu tugas mata kuliah Komunikasi Politik pada semester lima.

Pemakalah menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian telah memberikan manfaat bagi Pemakalah. Akhir kata Pemakalah berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan saran yang bersifat menbangun akan Pemakalah terima dengan senang hati.

Pekanbaru, 25 Oktober 2016





Pemakalah

Daftar Isi
Kata Pengantar ..........................................................................................................
Daftar Isi ...................................................................................................................
Bab I
A.    Latar Belakang ..............................................................................................
B.     Rumusan Masalah .........................................................................................
C.     Tujuan ...........................................................................................................
Bab II
A.    L ....................................................................................................................
B.     L ....................................................................................................................
C.     L ....................................................................................................................
D.    L ....................................................................................................................
Bab III
A.    Kesimpulan ...................................................................................................
B.     Kritik dan Saran ............................................................................................
Daftar Pustaka ..........................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Media merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. hampir setiap saat manusia menggunakan media, baik media cetak ataupun media elektronik. pada dasarnya, media merupakan sarana komunikasi yang bertujuan memberikan informasi kepada masyarakat secara luas, sehingga masyarakat dapat menerima informasi secara serentak.
Media menjadi alat yang paling ampuh untuk mengangkat bahkan menjatuhkan salah satu calon. sudah menjadi rahasia umum, jika hari ini media berlomba-lomba untuk memberitakan keberhasilan calon yang mereka usung dan tidak sungkan untuk memberitakan keburukan calon yang menjadi lawan mereka. hal ini tentunya bertentangan dengan fungsi utama dari media, namun dengan dalih kebebasan Pers media dengan leluasa melakukan hal tersebut. selain itu semakin banyaknya pemilik media yang terjun kebidang politik, diantaranya Abu Rizal Bakrie (TV-One, ANtv, dan Viva News), Surya Paloh (Metro Tv), Hari Tanoe (MNC Group : RCTI, MNCtv, Global Tv), Dahlan Iskan (Jawa Pos Group : 80 Surat kabar, 40 Percetakan, J-Tv, Batam Tv, Riau Tv).
Hal ini tentunya berimbas pada pemberitaan media yang tidak seimbang dan membuat media seperti kehilangan jati dirinya. seharusnya media lebih arif dan bijaksana dalam melakukan proses penyebaran informasi kepada masyarakat, sebab secara perlahan namun pasti media akan membentuk pola pikir atau cara pandang masyarakat tentang bagaimana melihat seseorang dan kehidupannya. selain itu media juga selayaknya memberikan informasi yang bernilai manfaat sehingga mampu mengembalikan manusia pada kodratnya sebagai mahluk sosial dan berbudaya dari pada hanya sekedar mengejar keuntungan semata.   

B.     Rumusan Masalah
C.    Tujuan


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Beberapa teori Komunikasi
Dari berbagai riset sosial yang pernah dilakukan, ternyata media memainkan peranan sentral dalam aktivitas politik. Hasil penelitian dominik (1972) membuktikan bahwa dari lima belas sumber informasi politik yang dinyatakan kepada responden, ternyata ada sepuluh sumber yang diperoleh dari media, dan selebihnya dari sumber lain seperti gereja, sekolah dan keluarga.

Melalui media massa bisa diketahui aktivitas para politisi tentang pikiran-pikirannya, pernyataan yang disampaikan, siapa yang menang dan siapa yang kalah, bagaimana strategi lawan, berapa uang ia habiskan selama kampanye, bagaimana tampan kandidat, apa yang dia janjikan kepada masyarakat, bagaimana kemampuan debatnya dan sebagainya. Jelasnya, media berisi banyak informasi dan pendapat tentang politik. Oleh karena itu, orang yang banyak mengikuti media memiliki perhatian yang tinggi terhadap aktivitas politik. Mass media is the primary source of political information, seperti yang dikatakan Jackson and Beeck (1970).
Begitu besarnya pengaruh media terhadap aktivitas politik, sampai banyak penduduk amerika serikat menunda untuk menentukan pilihannya, siapa yang akan menjadi presiden lima tahun mendatang sebelum mereka lihat sang kandidat tampil di televisi. Dalam kasus debat pemilihan presiden tahun 1960 antara John F. Kennedy dengan Richard Nixon yang pada awalnya diunggulkan oleh jajak pendapat sebagai calon pemenang ternyata bisa dikalahkan oleh Kennedy yang tampil dengan penuh pesona dalam kaca televisi. Demikian juga ketika Jimmy Carter berhadapan dengan Gerald Ford pada tahun 1976, hasil jajak pendapat menempatkan Ford akan memenangkan pertarungan melihat kedudukannya sebagai presiden yang berkuasa (incumbent), ternyata bisa dikalahkan oleh carter. Pengalaman yang sama berulang lagi pada pemilihan presiden 1992 ketika Bill Clinton yang tadinya tidak terkenal dan tidak diunggulkan ternyata bisa mengalahkan presiden Bush melalui penampilannya yang cerdas dan telegenik dalam televisi. Media memang bisa membuat politisi menjadi selebriti.

Melihat besarnya pengaruh televisi terhadap pencalonan presiden di Amerika sehingga ada yang berpendapat bahwa andai kata televisi sudah ada pada waktu pemilihan presiden tahun 1860, dipastikan Abraham Lincoln yang berwajah kurus tidak akan terpilih menjadi presiden, sekalipin ia memiliki potensi dan kepribadian yang sangta tinggi. The media is the message, sperti yang dikatakn McLuhan.
Ada beberapa teori komunikasi yang dapat dijadikan acuan untuk melihat keperkasaan media maupun kelemahan-kelamahannya memersuasi masyarakat dalam hubungannya dengan aktivitas politik.

1.      Teori Jarum Suntik (Hypodermic Needle Theory)
Teori ini diangkat setelah meilhat keberhasilan penggunaan medium radio dan media cetak sebagai alat propaganda dalam perang dunia I, serta keberhasilan drama radio Orson Walles yang mengisahkan turunnya makhluk Mars keatas bumi yang didramatisasi sehingga membuat penduduk sejumlah kota Amerika gempar. Teori jarum suntik berpendapat bahwa khalayak sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk menolak informasi setelah ditembakkan melalui media komunikasi. Khalayak terlena seperyi kemasukan obat bius melalui jarum suntik sehingga tidak bisa memiliki alternatif untuk menentukan pilihan lain, kecuali apa yang disiarkan oleh media. Teori ini juga dikenal dengan sebutan teori peluru (bullet theory).

2.      Teori Kepala Batu
Teori ini dilandasi pemahaman psikologi bahwa dalam diri individu, ada kemampuan untuk menyeleksi apa saja yang berasal dari luar dan tidak di respons begitu saja. Teori kepala batu menolak teori jarum suntik atau teori peluru dengan alasan jika suatu informasi ditembakkan dari media, mengapa khalayak tidak berusaha berlindung untuk menghindari tembakan informasi itu? Masyarakat atau khalayak memiliki hak untuk memilah informasi yang mereka perlukan dan informasi yang tidak mereka perlukan. Kemampuan untuk menyeleksi informasi terdapat pada khalayak menurut perbedaan individu, persepsi, dan latar belakang sosial budaya.
Perbedaan individu bahwa anak-anak cenderung lebih senang menonton film kartun sementara perempuan lebih senang menonton sinetron atau telenovela. Perbedaan persepsi diakibatkan oleh pengalaman individu, mislanya usia dan faktor-faktor psikologis turut menentukan jenis bacaan dalam surat kabar maupun jenis tayangan dalam televisi. Perbedaan sosial budaya dapat dilihat dari segi pendidikan, ekonomi, etnis, agama, dan kedudukan dalam masyarakat. Orang yang berpendidikan cenderung lebih senang membaca surat kabar yang memiliki banyak ulasan, demikian juga halnya menonton televisi lebih senang dengan acara siaran berita daripada hiburan.

3.      Teori Kegunaan dan Kepuasan (Uses and Gratification Theory)
Teori ini diperkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz pada tahun 1974 lewat bukunya The Uses of Mass Communication; Current Perdpective on Gratification Research. Teori ini banyak berkaitan dengan sikap dn perilaku para konsumen, bagaimana mereka menggunakan media untuk mencari informasi tentang apa yang mereka butuhkan. Dalam praktik politik teori ini banyak digunakan oleh para politisi. Misalnya bagaiaman Bill Clinton mempelajari cara debat Kennedy ketika ingin tampil debat dengan Bush dalam pemilihan presiden Amerika 1992.
Tidak itu saja, di gedung-gedung parlemen bisa dilihat bagaiman para anggota DPR membaca dan mengikuti begitu banyak media dalam sehari, hanya untuk memperoleh informasi dari hasil liputan para wartawan. Politisi menjadikan media sebagai mata dan hati untuk mengetahui apa yang terjadi di masyarakat, sekaligus menjadikan media sebagai pengganti partai untuk menghubungkan dengan para pendukung atau konstituantenya. Namun, dibalik itu orang bisa belajar dan mengambil manfaat dari apa yang disiarkan oleh media, misalnya ketika TVRI masih menjadi satu-satunya media televisi yang sangat ketat dalam pemberitaan, boleh dikata belum ada unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat indonesia. Namun, ketika televisi swasta diperkenankan menyiarkan berita-berita luar negeri tanpa banya seleksi, orang di indonesia dengan bebas melihat demonstrasi mahasiswa di korea selatan dan adu jotos para anggota parlemen di Taiwan. Belajar dari apa yang mereka pernah lihat di televisi, tidak mengherankan jika demonstrasi dan unjuk rasa juga semakin menjamur, bahkan praktik yang hampir mengakibatkan perkelahian antar para anggota parlemen juga sudah terjadi di indonesia karena meniru apa yang mereka lihat di televisi.

4.      Teori Lingkar Kesunyian (Spiral Of Silence Theory)
Teori ini diperkenalkan oleh Elizabeth Noelle Neumann, mantan jurnalis kemudian menjadi profesor emeritus pada salah satu institut Publisistik di Jerman. Teorinya banyak berkaitan dengan kekuatan media yang bisa membuat opini yang bersifat laten berkembang di tingkat bawah yang tersembunyi karena tidak sejalan dengan opini publik mayoritas yang bersifat manifes (nyata dipermukaan). Opini publik yang tersembunyi disebut opini yang berada dalam lingkar keheningan (the spiral of silence). Menurut beberapa pengamat, teori ini dibuat oleh Elizabeth N. Neumann tidak lepas dari pengalamannya sebagai mantan wartawan di zaman Nazi diaman Hitler sangat membenci orang Yahudi sehingga timbul pendapat umum laten yang tersembunyi di tingkat bawah karena diburu oleh rasa ketakutan.

Di indonesia, ketika pemerintahan Soeharto berlangsung, terutama satu dekade menjelang kejatuhannya banyak sekali opini publik berkembang di tingkat bawah, tapi tidak bisa terangkat karena bertentangan dengan opini mayoritas di tingkat atas. Akibatnya muncul banyak humor politik di kalangan masyarakat yang tidak bisa di publikasikan dalam media massa. Misalnya istilah Tosiba diplesetkan Tommy, Sigit, dan Bambang, AIDS (Aku Ingin Ditelpon Soeharto), dan sebagainya. Bahaya opini publik yang mengalami lingkar keheningan seperti ini bisa menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meletus dan melahirkan kerusuhan.

5.      Teori Penanaman (Cultivation Theory)
Teori ini dibuat oleh suatu tim riset yang dipimpin oleh George Gerbner di Annenberg School of Communication, University of Pennsylvania pada tahun 1980. Teori ini memberi kontribusi studi komunikasi dengan sebutan Teori Penanaman atau Teori Kultivasi. Teori ini menggambarkan kehebatan televisi dalam menanamkan sesuatu dalam jiwa penonton, kemudian  terimplementasi dalam sikap dan perilaku mereka. Misalnya kebiasaan televisi menyiarkan berita atau film tentang kejahatan memberi pengaruh (tertanam) pada sikap dan perilaku penonton untuk tidak mau keluar pada malam hari tanpa ditemani orang lain. Akan tetapi, tidak demikian halnya di Inggris, stasiun-stasiun televisi tidak terbiasa menayangkan berita-berita kejahatan dan kekerasan sehingga masyarakat disana tidak perlu takut keluar malam.
Kasus banyaknya tindakan kriminal yang dikalahkan oleh anak anak muda di Amerika serikat pernah diteliti oleh polisi dan ahli psikologi. Dari hasil riset tersebut diperoleh data bahwa banyak tindakan kejahatan ditimbulkan oleh ulah anak-anak yang pernah menjadi pecandu film kekerasan di usia kanak-kanaknya. Menurut kalangan psikolog, anak-anak yang berada dalam rentang usia antara 7-9 tahun tidak mampu membedakan antara dunia khayal dengan dunia nyata sehingga apa yang mereka tonton berpengaruh (tertanam) terhadap jiwa, sikap, dan perilakunya di waktu remaja (McConnell, 1986).
Tingginya frekuensi liputan televisi tentang kekerasan, pemerkosaan, dan kejahatan di beberapa kota besar di indonesia seperti jakarta, Surabaya, Makassar, dan Palembang, menyebabkan para penonton dapat bersikap dan berperilaku tidak mau mengunjungi kota-kota tersebut karena dipersepsikan (tertanam) sebagai kota yang penuh tindak kriminal, padahal dalam realitasnya secara keseluruhan tidak demikian. Pernah seorang wartawan ibukota enggan ke Makassar ketika ditugasi meliput pameran budaya karena selalu melihat unjuk rasa dalam layar TV. Dalam bayangan dia, Makassar adalah kota yang tidak aman, penuh kekerasan, dan sebagainya. Namun, ketika ia memberanikan diri datang karena belum pernah berkunjung ke kota ini, ia menemukan hal yang sangat bertolak belakang dengan apa yang disiarkan dalam televisi. Ia melihat bahwa Makassar adalah kota yang aman, cantik, dan ia pun ingin kembali jika ada kesempatan lain.
Dalam kasus sinetron, seorang artis di personifikasikan sebagai ibu yang judes, cerewet, dan gila urusan di layar TV. Ketika dalam suatu kesempatan shopping di swalayan, si artis yang judes itu mau ditonjok oleh seorang ibu yang merupakan penonton sinetron tersebut, padahal dalam realitasnya, si artis tersebut adalah seseorang yang sangat berperilaku baik diluar tayangan layar kaca. Sebaliknya, ada juga bintang televisi yang di elu-elukan dan disanjung oleh para penggemarnya, tetapi diluar layar kaca iya berperilaku seronok dan pecandu narkotik dan obat-obatan terlarang.
Dibidang politik misalnya, teori ini memiliki pengaruh yang besar bagi para penonton dengan menggambarkan (tertanam) dalam jiwa, sikap dan perilaku mereka, bahwa partai yang banyak tampil di televisi diasosiasikan sebagai partai besar dan berpengaruh, sekalipun dalam kampanye, kameramen televisi merekayasa dengan hanya meliput tempat-tempat kerumunan massa. Dari faktor penanaman media terhadap jiwa pemirsa memberi pengaruh yang besar terhadap pemilih. Oleh karena itu, tidak heran jika aktor sekaliber Ronald Reagan dan Arnold Schwarzenegger bisa terpilih sebagai presiden dan walikota di Amerika. Demikian juga Joseph Estrada terpilih sebagai presiden dan Bon Revilla Sebagai senator di Filipina. Di Indonesia berkat pengaruh media sejumlah aktor dan artis misalnya Rano Karno, Ajie Massaid, Dede Yusuf, Marissa Haque, Miing Gumilar sangat dikenal oleh masyarakat sehingga bisa terpilih sebagai anggota parlemen.
Selain teori ini berhasil dalam menanamkan pengaruh pada jiwa pemirsa, teori kultivasi banyak mendapat kritik terutama dlam liputan yang bersifat palsu (pseudo events).

6.      Teori Agenda Stting (Agenda Setting Theory)
Teori agenda setting pertama kali diperkenalkan pada tahun 1973 oleh Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw dari School of Journalism, University of North Carolina lewat tulisannya The Agenda Setting Function of the Mass Media. Kedua pakar ini tertarik untuk melihat apakah pendapat para pemilih mengenai isu-isu yang di pandang sangat penting dibentuk oleh besarnya pemberitaan mengenai isu-isu tersebut. Dari hasil riset itu McCom dan Shaws menemukan adanya korelasi yang signifikan antara isu yang diangkat oleh media dengan isu yang dianggap penting oleh pemilih. Teori ini mengakui bahwa media memberi pengaruh terhadap khalayak dalam pemilihan presiden melalui penayangan berita, isu, citra, maupun penampilan andidat itu sendiri. Becker & McLeod (1976) dan Iyenger (1987) mengakui bahwa meningkatnya penonjolan atas isu yang berbeda bisa memberikan pengaruh yang signifikan terhadap opini publik. Dalam konteks politik, partai-partai dan para aktor politik akan berusaha memengaruhi agenda media untuk mengarahkan pendapat umum dalam pembentikan image.
Dengan menonjolkan isu, citra dan karakteristik tertentu kandidat, media ikut memberikan sumbangan yang signifikan dalam melakukan konstruksi persepsi publik dalam pengambilan keputusan, apakah akan ikut memilih dan siapa yang akan dipilih. McComb mencontohkan bahwa dalam kondisi tertentu masyarakat biasanya bersifat vakum dan statis. Dalam kondisi seperti ini media bisa tampil mengambil keputusan dengan mengekspos masalah-masalah yang perlu dipikirkan oleh masyarakat. Misalnya bagaimana media menggairahkan orang agar tertarik menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Media tidak saja tergantung pada berita kejadian, tetapi ia memiliki tanggung jawab untuk menggiring orang melalui agenda-agenda yang bisa membuka pikiran meraka. Seperti yang dikatakan McCombs “the mass media may not be succesful in telling people what to think, but the media are stunningly successful in telling their audiance what to think about.”
B.     Hubungan Media dengan Politisi dan Pemerintah
            Hubungan antara media dengan politisi atau pemerintah sudah berjalan sekian lama, dan hubungan itu bisa dikatakan tidak bisa dipisahkan antara keduanya, bukan saja karena wartawan membutuhkan para politisi atau pejabat pemerintah sebagai sumber informasi (make of news), tetapi juga para politisi maupun pejabat pemerintah memerlukan media untuk menyampaikan pikiran-pikirannya maupun kebijakan yang mereka ambil untuk kepentingan orang banyak. Tidak heran jika para wartawan sering tampak bergerombol didepan gedung istana, parlemen, kantor kementrian, kantor gubernur atau bupati menunggu kesempatan untuk mewawancarai para politisi atau para pejabat tersebut. Selain dengan cara itu, para politisi atau pejabat sering kali mengundang para wartawan untuk makan malam, berkunjung ke proyek atau dia sendiri yang berkunjung ke kantor redaksi untuk diwawancarai dan dipublikasikan.
            Meski ada hubungan yang saling membutuhkan antara media dengan politisi, namun hubungan ini kadang menimbulkan gesekan yang kurang harmonis. Oleh karena itu, ada yang mengatakan hubungan antara keduanya seperti benci, tetapi rindu (hate and love).
            Hubungan antara media dan pemerintah biasanya lebih banyak bersifat negatif. Sikap negatif inilah yang sering menimbulkan miscommunication dan misinformation. Konsep terakhir yang muncul adalah kriteria penyimpangan (deviance), yakni sesuatu mempunyai nilai berita jika menyimpang dari norma rata-rata, baik yang menyangkut peristiwa, orang, perilaku, arah perkembangan dan sebagainya (Shoemaker dkk. Dalam Dahlan, 1990). Dengan demikian, pers cenderung untuk menyiarkan berita yang tidak rutin, kekacauan, kegagalan, dan sebagainya yang tidak nyaman bagi pejabat, namun disukai oleh pembaca.  Sementara itu, pemerintah sendiri mempunyai kriteria tentang berita, yaitu sering dikaitkan dengan keberhasilan, ketertiban, dan pembangunan. Perbedaan persepsi ini merupakan sumber benturan yang selalu terjadi dalam interaksi antara media dan pemerintah dan sering dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kepentingan politik. Menurut penasehat publikasi Reagan, pemerintah yang sukses, mestinya dapat menyusun agenda apa yang harus dilakukan untuk masyarakat, dan bukannya media yang harus membuatkan agenda apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk masyarakat (Gurevitch dan JG. Blumer dalam Lichtenberg, 1991).
            Permusuhan antara pers dengan pemerintah menurut Merril dikarenakan media menjalankan fungsinya sebagai watchdog dalam mengontrol jalannya pemerintah. Merril justru mempertanyakan kenapa hubungan antara media dan pemerintah mesti bermusuhan. Kenapa tidak bisa bersahabat dan bekerja sama untuk kepentingan orang banyak. Bukankah keduanya bekerja un tuk kepentingan publik? Tampaknya media atau wartawan senang jika memiliki sikap berlawanan dengan pemerintah, padahal hubungan antara keduanya sesungguhnya tidak dibentuk atas dasar permusuhan, melainkan hidup dalam satu kehidupan yang simbiosi dan saling membutuhkan. 

                                   Masyarakat                              Media





                                                           Pemerintah
Dari gambar ini terlihat adanya mitra kerja sama segitiga antara masyarakat, media, dan pemerintah. Demikian pula dalam hal pengawasan, bukan hanya media yang memiliki hak pengawasan terhadap pemerintah dan masyarakat, tetapi antara ketiganya saling mengawasi satu sama lain. Tentu saja menjadi persoalan jika media tidak memiliki kesediaan untuk diawasi oleh pemerintah atau masyarakat. Ini berarti media menutut adanya hak-hak khusus atau keistimewaan, padahal sebagai suatu lembaga kemasyarakatan ia memiliki kedudukan yang sama dengan lembaga-lembaga sosial lainnya atau individu didepan hukum. Pengawasan tidak diartikan sama dengan pembredelan atau kontrol dalam bentuk sensor, melainkan pengendalian agar tetap berada dalam landasan cita-cita bangsa untuk menciptakan suatu negara adil, makmur, dan sejahtera.
            Dalam hal penegakan demokrasi, Gurevitch dan J.G Blumler dakam Lichtenberg (1991) mengharapkan media massa bisa berperan untuk:
a.       Mengawasi lingkungan sosial politik dengan melaporkan perkembangan hal-hal yang menimpa masyarakat, apakah masyarakat makin sejahtera atau tidak.
b.      Melakukan agenda setting dengan mengangkat isu-isu kunci yang perlu dipikirkan dan dicarikan jalan keluar oleh masyarakat.
c.       Menjadi platform dalam rangka menciptakan forum diskusi antara politisi dan juru bicara negara terhadap kelompok kepentingan dan kasus lainnya
d.      Membangun jembatan dialog antara pemegang kekuasaan pemerintahan dan masyarakat luas.
e.       Membangun mekanisme sehingga masyarakat memiliki keterlibatan dalam hal kebijakan publik.
f.       Merangsang masyarakat untuk belajar, memilih, dan melibatkan diri, dan tidak hanya semata pengikut dalam proses politik.
g.      Menolak upaya dalam bentuk campur tangan pihak-pihak tertentu agar pers keluar dari kemerdekaan dan integritasnya, serta dedikasinya untuk melayani kepentingan masyarakat.
h.      Mengembangkan potensi masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan politiknya.

Untuk mengembangkan harapan media massa dalam perjuangan demokrasi, sudah tentu tidak begitu mudah. Ada empat hal yang bisa menjadi rintangan dalam pencapaian peran media dalam mendorong demokrasi, antara lain:
1)      Konflik yang terjadi di antara nilai-nilai demokrasi itu sendiri, demikan pula konflik antara pendapat mayoritas dan pandangan kelompok marginal yang harus didengar.
2)      Para komunikator politik yang berwewenang sering muncul sebagai elite dunia atau nasional sehingga jauh dari lingkungan dan perspektif orang biasa.
3)      Tidak semua  anggota masyarakat tertarik pada politik. Dalam pandangan demokrasi liberal orang berusaha memiliki kemerdekaan untuk menetukan dirinya dan menetukan jarak terhadap sistem politik yang ada, termasuk hak untuk menetukan selera politik.
4)      Media dalam mendorong nilai-nilai demokrasi hanya dengan cara yang sesuai lingkungan politik yang berjalan.

Di AS media sebagai perusahaan bisnis harus hidup dalam kompetisi pasar seperti         Rupert Murdoch yang mengendalikan kebijakan editorial surat-surat kabar yang berada dalam kekuasaannya, termasuk menggiring pemerintah kota dan General Electric sebagai pemilik modal stasiun-stasiun TV di AS. Selain itu, kendala politik juga menjadi masalah, di mana “national interest” sering kali dicanangkan oleh presiden, terutama dalam hal hubungan luar negeri, perbankan, dan masalah pertahanan dan militer. Oleh karena itu, Hallin dalam Mcnair (2003) menekankan agar media dalam memelihara hegemoni antara kekuatan-kekuatan yang berperan dalam masyarakat termasuk media massa diharapkan bisa lebih fleksibel dam mudah beradaptasi dalam mencairkan kondisi sehingga sistem politik yang ada dalam masyarakat tidak membeku dan tersumbat, melainkan bisa lebih dinamis. Untuk itu media harus membuka diri sebagai ruang publik (publik sphere) dan menjadi wacana bagi semua pihak.
Berbeda dengan pandangan yang menginginkan adanya kerja sama antara media dengan pemerintah, maha guru komunikasi dari University of Oregon Everett E. Dennis, justru melihat media sebaiknya bersikap kritis dan argumentatif terhadap pemerintah. Alasannya, karena informasi yang disebarkan media dapat menimbulkan kekuatan untuk melawan penguasa yang ada. Oleh karena itu, pers sebagai lambang kekuasaan diperebutkan oleh para elite sejak dulu sampai sekarang guna mengendalikan informasi dan mendukung kebijakannya. Hal ini juga sejalan dengan pandangan Robert W.McChesney dalam Thomas (2004) bahwa tanpa campur tangan pemerintah, media akan sehat dan tumbuh subur untuk mendukung terwujudnya apa yang disebut kebebasan politik.
Usaha pemerintah untuk menjaga stabilitas dalam negeri  dengan mencoba mendekati media dapat dipahami karena bisa dikatakan hampir semua pemerintah di dunia tidak ada yang menginginkan media mengacaukan masyarakat. Mereka berusaha menjinakkan media dengan berbagai macam alat penekan, melalui penggunaan tekanan hukum (legal pressure), ekonomi dan political pressure, undang-undang kerahasiaan negara, dan yang paling buruk adalah sensor. Selain itu, pemerintah menggunakan media untuk mempromosikan diri dengan program dan kebijakannya, sekaligus untuk mengontroldan mengetahui apa yang terjadi dalam masyarakat. Persoalan yang timbul, bagaimana profesionalisme pers bisa memahami hal ini, apakah tujuan pemerintah sejalan dengan tujuang pers.
Menurut kalangan pers, suatu hal agak keliru dan salah kaprah adalah jika media pers selalu diasosiakan dengan sikap menyerang kepada pemerintah. Pers menginginkan pemerintah harus jujur sebab kalau pemerintah sudah tidak jujur, pers terpancing untuk mencari ketidak jujuran itu. Sebaliknya pers juga harus jujur dan tidak mencari-cari kesalahn yang tidak benar untuk kepentingan tertentu atau diperalat. Pers harus selalu waspada untuk tidak dijadikan kuda tunggangan untuk mengejar ambisi seseorang. Pers harus berusaha untuk menghindari agar ia tidak dijadikan moncong oleh para politisi, meski selama ini pers tidak pernah menjadikan para politisi sebagai moncongnya.
Meski hubungan antara pers dan pemerintah mengalami pasang surut dalam perjuangan menegakkan demokrasi, terutama dalam mengingatkan para petugas negara yang diberi legitimasi sebagai wakil rakyat untuk mengurus kepentingan rakyat, namun kondisi itu tidak mengurangi nyali para wartawan untuk melaksanakan profesionalisme dengan rambu-rambu hukum yang bisa menjerat mereka dalam bentuk delik pidana. Idealisme profesionalisme untuk mendudukan mereka sebagai watchdog (anjing penjaga) seperti istilah Sayed Arabi Idiid sebagia inspektur jenderal yang bertugas mengkritisi jalannya pemerintahan agar tidak melenceng dari cita-cita demokrasi. Pers sekali-kali perlu menggigit, tetapi kalau bisa jangan sampai melukai. Bahkan posisi yang lebih penting pers atau media ditempatkan pada posisi the fourth branch of government, yakni sebagai pilar keempat demokrasi selain parlemen (legislatif), pemerintah (eksekutif),dan peradilan (yudikatif).
Di sini bisa dilihat betapa sulit memehami kebebasan pers suatu negara tanpa memahami sistem yang berlaku dalam negara itu, sebab free press can also lead to bad government “kata Kishore Mahbubani (1993). Membangun hubungan antara media dan dengan pemerintah tidak mudah sebab media selain berfungsi sebagai predictor of political change, juga berperan sebagai political actor dalam suatu negara. Media tidak hanya terlibat dalam proses pemilu, tetapi juga dalam tugas-tugas rutin pemerintahan sampai kepada pesan-pesan iklan dan program hiburan yang bernuansa politik. Keterlibatan media sebagai aktor politik bisa dilihat selain perannya dalam membuat agenda untuk mendapatkan perhatian publik, juga melalui berbagai bentuk publikasi yang dapat dijadikan sebagai wacana politik. Misalnya kolom yang ditulis oleh orang tertentu, feature tentang figur politisi, karikatur, sementara dalam media siaran selain dalam bentuk iklan politik, juga disediakan program debat dan talk show yang bisa diisi oleh para politisi sebagai peluang untuk beriklan tanpa bayar.
Meskipun konflik antara pers dengan pemerintah, khususnya pemerintah pusat tidak begitu banyak selama reformasi, termasuk dengan aparat TNI dan Polri. Konflik itu tampaknya lebih banyak diwarnai dendam pribadi, dan tidak lagi di dalam bentuk intervensi lembaga kemiliteran terhadap pers seperti halnya pada masa rezim Soekarno dan Soeharto. Contoh konflik antara media dan massa parpol serta aparat disebutkan sebagai berikut
a.         24 November 1999, Majalah Tempo No.38,22 November 1999 menurunkan laporan     “Hamzah Haz dan Tuduhan Korupsi” Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK) kelompok   pendukung PPP jadi berang. Mereka berunjuk rasa mengutuk Tempo. Sekjen GPK Emron Pangkati menudugh pers, termasuk Tempo terlibat dalan konspirasi yang bertujuan merusak nama baik Hamzah Haz yang ujung-ujungnya bertujuan memecah belah PPP.
b.         6-7 Mei 2000, Harian jawa pos edisi minggu 7 Mei tidak bisa terbit karena kantor media ini diduduki Bnaser-Anshor dari sore hari hingga tengah malam menyebabkan wartawan tidak bisa bekerja. Insiden pendudukan kantor Jawa Pos dipicu berita yang berjudul “PKB gerah, PBNU bentuk tin klarifikasi” Para demonstran menuntut tiga hal, yakni memecat wartawan yang menulis berita tersebut, minta maaf melalui iklan selama satu bulan penuh, dan membangun masjid senilai Rp35 miliar.
c.         23 Juni 2000, Komandan Laskar Jihad Djafar Umar Thalib mengancam akan membunuh para wartawan siuwalima dan akan menghancurkan kantor harian yang bertiras 5.000 eksemplar itu. Pasalnya, meurut Djafar isi surat kabar siuwalima banyak mendiskreditkan umat Islam  di Ambon. Akibat ancaman itu, para wartawan siuwalima menyembunyikan diri selama beberapa hari. 
Dari uraian diatas, kita memperoleh kesan bahwa hubungan antara media dan politik, selama masa reformasi, kalaupun tidak lagi terlalu banyak tekanan dan campur tangan dari pihak pemerintah dan militer, konflik dengan partai politik frekuensinya cukup tinggi, terutama dalam hubungannya dengan gerakan amuk massa yang banyak digerakkan oleh partai-partai politik, baik itu di tingkat pusat maupun di daerah-daerah.
Maraknya tampilan berita tentang korupsi, illegal logging dan unjuk rasa di gedung-gedung pemerintahan, markas kepolisian, kejaksaan, dan parlemen tidak lagi menjadi momok bagi para Indonesia karena hal itu dipandang memberi peluang kepada media untuk mencoba memerankan diri dalam membantu pemerintah menciptakan good governance yang transparan dan akuntabel. Kebiasaan-kebiasaan yang tadinya dianggap sensitif dan peka dalam budaya birokrasi Indonesia semasa pemerintahan. Soeharto melalui berbagai macam euphemism, makin disadari sebagai upaya rezim orde baru mengemas diri untuk membunuh sifat-sifat kritis masyaraka. Oleh karena itu, keberanian masyarakat untuk mengkritik para birokrat bukan hanya dalam bentuk berita koran dan televisi atau unjuk rasa, tetapi secara terang-terangan dilakukan dalam bentuk parodi dan tayangan “Republik Mimpi” menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat untuk melihat perangai para pemimpin bangsa.
Tayangan seperti ini tentu saja memiliki nilai plus minus atau pro dan kontra, tetapi disisi lain memiliki manfaat agar jabatan-jabatan birokrasi kenegaraan seperti presiden dan menteri tidak lagi dilihat sebagai posisi yang sakral dari masyarakat, melainkan mendekatkan presiden dan menteri kepada rakyat sehingga tidak terlihat jarak yang begitu jauh. Dalam hubungannya dengan keberanian mereka melakukan kritik, mereka melihat para pejabat adalah representasi publik yang memiliki legitimasi. Karena itu, mereka harus siap menerima kritik dari masyarakat. Kata Thomas Jafferson “Politician who complain about media are like sailors who complain about the sea, atau dengan pepatah lama “jangan berumah di tepi pantai jika takut dilebur ombak, jangan jadi pejabat publik jika takut di kritik oleh media.”

C.    Media Massa Dalam Kehidupan Politik Negara
Peranan media massa dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat modern semakin besar. Hal itu tampak pada usaha penggunaan media massa untuk mmempercepat proses perubhan sosia di negara-negara berkembang, ataupun penggunaannya untuk kammpanye politik, advvertensi, dan ropaganda.
Penggunaan media massa untuk suatu kampanye tampaknya sangat esensial dalam kehidupan politik. Di Amerika, setiap ada pemilihan presiden media massa diseluruh negeri hapir selalu digunakan untuk kegiatan kampanye. Terutama kampanye melalui televisi merupakan hal yang menarik.
Di sini tampak peranan kammpanye melalui media massa sangat besar artinya bagi seorang kandidat. Tetapi, apakah setiap kampanye melalui media massa selalu menjajikan keberhasilan? Tampaknya tidak. Ada kondisi-kondisi tertentu yang mendukung keberhasilan suatu kampanye. Menurut Dennis McQuaill (2000), suatu kampanye kemungkinan berhasil jika ada kondisi tertentu yang mendukung pada situasi audience, pesan (message), dan sumber (source).
Untuk audiensi; pertama, kampanye harus dapat menjangkau khalayak yang luas. Kedua, audiensi yang dijangkau itu harus sesuai dengan sasaran kampanye. Ketiga, sifat khalayak yang dituju tidak mempunyai sikap antipati terhadap materi kammpanye. Keempat, kampanye akan berhasil jika didukung oleh struktur komunikasi interpersonal yang sesuai dengan yang diharapkan. Kelima, audiensi benar-benar dapat memahami isi kampanye secara benar. Adapun pada kondisi pesan; pertama, pesan harus tidak mempunyai makna ganda (ambigu) dan sesuai dengan khalayaknya. Keduua, kampanye yang bersifat informatif akan lebih mudah berhasil daripada kampanye untuk mengubah sikap. Ketiga, materi kampanye bukanlah hal yang asing bagi khalayak melainkan sesuatu yang sudah akrab dengan mereka. Keempat, perlu adanya petisi atau pengulangan penyampaiaan lebih berpengaruh.
Pada sumber; perlu adanya kondisi sebagai berikut; pertama, usaha adanya monopoli, yakni seluruh saluran komunikasi digunakan untuk menyampaikan pesan kampanye yang sama. Kedua, sumber mempunyai status yang tinggi di hadapan khalayak, mempunyai kepribadian yang menarik karena sebagai bintang atau pahlawan di masyarakat.
Ketiga, kondisi pada media yang digunakan: pertama, media yang digunakan adalah media yang akrab dengan khalayak, kedua, harus disesuaikan dengan sasaran yang dituju. Usahakan satu media dengan yang lainnya yang saling melengakapi.
Peranan komunikasi massa dalam kehidupan sosial memang sangat luas, tidak saja untuk kampanye dalam rangka komunikasi politik, tetapi seluruh kehidupan manusia modern tidak terlepas dari media massa. Adapun Daniel Lerner menemukan dalam peneliiannya di Trki bahwa perubahan sosial sanga dipengaruhi oleh penggunaan media massa (Lerner, 1958).
Namun, dari sekian banyak kesimpulan mengnai peranan media massa, ada suatu hal yang sangat menarik, yaitu apa yang dikemukakan oleh seorang sarjana psikologi, Fesbach dalam teori katarsisnya. Ia berpendapat bahwa media massa pada dasarnya berperan untuk saluran agresi manusia. Jika seseorang berkeinginan membunuh atau berperang, untuk menyalurkan agresinya, ia cukup melihat film perang saja, dengan demikian akan tersalur kehendak agresinya.

D.    Ketika Media Memiliki “Power”
Salah satu bentuk media massa yang paling dominan sekarang, tetapi sekaligus memiliki kekhasan adalah media penyiaran, khususnya televisi. Di era demokrasi liberal seperti sekarang, media penyiaran tidak cukup dipandang hanya sebagai kekuatan civil soviety yang harus dijamin kebebasannya, namun juga harus dilihat sebagai kekuatan kapitalis, bahkan politik elite tertentu.
Gejala ini sangat kentara dan nyata terluhat pada model pemberitaan atau progra current issue di televisi swasta, yang mengkhususkan pada berita. Impartialitas acap kali diabaikan. Pemilik yang sedang getol memobilisasi dukungan politik, bisa muncul setiap saat bak pahlawan di medianya. Sementara lawan politiknya cenderung dicerca habis dengan mengabaikan imparsialitas. Secara kasat mata meia TV oleh pemiliknya dipakai sebagai polotical tool gerakan yang dipimpinnya.
Padahal regulasi tentang keharusan imparsialitas bagi media penyiaran itu adalah kewajiban yang berlaku global di berbagai negara demokrasi. Terlebih telah diatur dalam UU 32/2002 tentan Penyiaran pasal 36 ayat 4 yang menyebutkan “Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan glongan”. Kemudian, berdasarkan aturan KPI No.9/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran pasal 5 ayat e “Lembaga penyiaran menjunjung tinggi prinsip ketidak berpihakan dan keakuratan”. Pasal 9 tentang prinsip jurnalistik: “ Lembaga penyiaran harus menyajikan informasi dalam program faktual dengan senantiasa mengindahkan prinsip akurasi, keadilan, dan ketidak berpihakan (imparsialitas).”
Persoalannya, bagaiman ketika prinsip dan ketentuan imparsialitas sudah begitu lama diabaikan. Sementara UU dan KPI diterjang. Sebenarnya KPI sudah memperingati media televisi yang sedang bermasalah ini. Tapi tampaknnya tabiat melanggar Imparsialitas terus saja kembali terus dulangi. Karena itu bisa dipahami jika ada pernyataan keras, dari pihak yang merasa  diperlakukan tidak adil.



No comments:

Post a Comment